Saat itu pukul 10 malam. Tak sengaja aku lihat status WAnya.

“Kebablasan sampe stasiun Bandung 🙁 ada KRDnya jam setengah 12.”

Kecemasan langsung mengalir di sekujur tubuhku. Ntahlah, walaupun ku tahu aku bukan siapa-siapa lagi baginya. Kuberanikan diri me-reply statusnya.

“Aku jemput ya!”

Malam yang seharusnya aku bersiap untuk beristirahat, namun bagaimana aku dapat beristirahat bila aku dilanda kecemasan? Meskipun chatku saat itu hanya ceklis 2 abu-abu, aku terdiam lama dan tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul setengah 12. Aku tak peduli balasannya.

Aku langsung mengambil motor dan langsung cus keluar. Kira-kira pukul 12 malam aku berkendara dengan menggunakan jaket dan masker 2000-an. Walaupun sudah memakai jaket, tapi sungguh dinginnya angin malam sangat menusuk. Dan bodohnya aku, menjemput dia yang tak ingin dijemput…

Mungkin aku terlalu banyak berprasangka, mengenai dinginnya malam dan kejahatannya. Namun malam itu ternyata masih ramai, masih banyak kafe dan pedagang kaki lima yang buka. Mungkin waktu benar-benar mengubah segalanya, dulu malam adalah monster yang menakutkan, sekarang malam lebih bersahabat, malah dicari untuk melakukan kesenangan. Meskipun begitu, keramaian malam tetap membuatku kesepian.

Aku akhirnya tiba di stasiun Cimahi, 2 KM yang tidak terasa. Aku cek ponselku hendak meneleponnya, lalu tiba-tiba dia membalas,

“Udah naik ojek online sampai di rumah 🙂”. …

Aku tahu…

Sungguh, aku tahu…

Prasangka dan imajinasiku memang tak pernah berjalan sesuai kenyataan. Kata kitab pun, “Hindarilah banyak prasangka.”

Sungguh, aku tahu.

Berdiam di stasiun, menunggu orang yang tak ingin ditunggu.

Bodohnya aku.

Ingin ku marah betapa bodohnya aku, tapi tidak kulakukan. Aku hanya tersenyum.

Walaupun dinginnya malam menusukku, tapi aku bersyukur karena masker telah menyelamatkanku. Hebatnya penemu masker ini, dengan sifat kimianya, ia bereaksi dengan karbondioksida yang aku keluarkan, sehingga tidak terhidup lagi olehku, juga menimbulkan kehangatan di sekitar wajahku. Namun sialnya, uap nafasku selalu berhembus ke atas menimbulkan uap di kacamataku, membuat kacamataku buram, dan mataku terasa hangat, tak sadar ada uap kecil muncul dari mataku.

Lalu akhirnya aku pulang, menyusuri jalan yang lengang. Bernyanyi dan tertawa sekencang-kencangnya, tanpa perlu ada yang mendengarnya.

Aku bahagia malam itu, mengetahuinya selamat. Sungguh, itu membuatku bahagia.

Tuhan selalu menyelamatkannya.


Aku berdiri di stasiun yang sepi, menunggu kehadiran yang tak ingin ditunggu. Malam menggelayut seperti tirai gelap, dan hatiku terasa berat seperti beban yang tak terhingga. Namun, dalam kegelapan itu, aku menemukan kekuatan untuk menerangi jiwa yang lesu.

Angin malam yang menusuk tulangku menggiringku pada kenangan yang kini terhanyut dalam kehampaan. Aku melangkah di jalanan yang sunyi, melantunkan lagu-lagu hati dalam bisikan angin malam. Suara langit memancar cahaya bintang yang menari di kegelapan, menyusun pola indah yang membentuk jalan menuju rasa bahagia.

Di langit, rasi bintang bertutur dengan lembut, menyampaikan pesan bahwa ada keajaiban di balik setiap ketidakpastian. Aku mencari makna yang tersembunyi dalam setiap langkah yang kulalui, mengikuti jejak keberanian yang terhampar di depanku.

Dan akhirnya, di tengah sepi itu, aku menemukan keindahan dalam kesendirianku. Melalui hening malam yang menggenggam hatiku, aku menyadari bahwa ada kekuatan dalam setiap langkahku, meski kadang terasa sepi dan tersesat.

Dalam kegelapan yang memelukku, aku mengukir puisi-puisi baru. Aku menari dengan kata-kata yang mengalun indah, mengungkapkan perasaan yang tak terucapkan. Hatiku yang pernah dilanda kecemasan kini terbang bebas dalam keremangan malam, merangkai impian-impian yang menyala dalam kegelapan.

Bersama langit yang tak berujung, aku menyatukan rasa syukur dan penyesalan. Meski gelap, aku tetap mencari cahaya dalam setiap detik yang berlalu. Dan pada akhirnya, aku menemukan kedamaian di dalam diriku sendiri.

Di stasiun itu, di balik kesendirian dan harapan yang tak terwujud, aku mengucapkan terima kasih pada waktu yang membawa perubahan dalam hidupku. Aku memahami bahwa prasangka dan imajinasi hanya penghalang yang membatasi keajaiban yang dapat kita temui di dunia ini.

Dalam pelukan malam yang membisu, aku belajar menerima kenyataan. Aku melangkah pulang dengan hati yang ringan, membawa beban berupa pengalaman dan kebijaksanaan baru. Dan pada akhirnya, dalam senyum yang kuukir di wajahku, aku menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Tuhan selalu melindunginya, dan kini aku menyadari bahwa Tuhan juga melindungi diriku. Dalam setiap hela nafasku, dalam setiap langkahku, aku merasakan kehadiran-Nya yang tak tergantikan.

Malam itu berlalu, namun ceritanya masih terukir dalam hati. Aku menghela napas dalam-dalam, berterima kasih pada kegelapan yang membawaku pada cahaya baru. Dan kini, aku berjalan dengan keyakinan bahwa di tengah malam yang sunyi, terdapat keajaiban yang menanti untuk diungkapkan.

ana de armas