Tindak kriminal tak henti-hentinya terjadi di muka bumi. Pembunuhan, Pencurian, Pelacuran, dan lain- lain. Terkadang kita bertanya dimanakah Tuhan disaat banyaknya pelaku kejahatan yang belum di hukum. Sesungguhnya Ia memberikan kesempatan kepada kita untuk menghukumnya di dunia pada saat itu, karena dunia yang hina ini bukan ranahnya. Ia akan “bermain” setelah kiamat dunia terjadi. Dan semoga saja begitu agar pendakwa bisa damai melihat orang yang berbuat jahat padanya dihukum sekeras-kerasnya oleh Tuhan setelah kiamat nanti. Uuuh kejamnya manusia, bukankah begitu ? Disamping kejamnya perbuatan dan pikiran manusia, ada sistem yang dibuat manusia yang menurut saya menarik untuk diperbincangkan, yaitu sistem peradilan.
Saya tidak tahu kapan dimulainya sistem peradilan ini, apakah awal mulanya adalah ada 2 kelompok yang saling menyalahkan satu sama lain sehingga kedua kelompok tersebut terus bertengkar dan ada pahlawan yang memikirkan bagaimana penyelesaian yang memungkinkan untuk mengakhiri pertengkaran. Dan dibuatlah sistem peradilan dimana apabila ada seseorang atau sekelompok yang merasa diperbuat tidak adil boleh mencari keadilan dan melaporkan kejahatan orang yang dianggapnya jahat melalui lembaga peradilan. Apabila ada bukti dan saksi yang memenuhi, maka orang yang didakwa melakukan kejahatan akan dihukum sesuai norma yang berlaku. Terlihat praktis, baik, dan benar tindakan orang yang memikirkan penyelesaian masalah tersebut. Namun pada nyatanya sistem yang dibuat manusia tidak ada yang benar-benar sempurna. Selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh orang tak bertanggung jawab.
Saya prihatin dengan sikap masyarakat yang apabila melihat orang yang didakwa melakukan kejahatan, padahal belum terbukti melakukan kejahatan akan mengambil kesimpulan bahwa orang tersebut adalah penjahat. Sebagai contoh yang viral saat ini adalah pelaku korupsi dan pelaku chat pornografi. Terdakwa kasus tersebut selalu menghindari penyidikan dan penyelidikan. Kita selalu berpikir bahwa jika tidak melakukan kejahatan, mengapa harus selalu menghindari lembaga penyidik dan penyelidik ? Apabila sering menghindar, bukankah subjek tersebut benar-benar melakukan kejahatan ? Dalam masalah keadilan kita seringkali menggunakan perasaan dan hati nurani dalam menentukan kebenaran. Tak sadar kita melupakan metode dan rasionalitas dalam mencapai kebenaran. Mari kita berpikir lebih luas, bukan dari sudut pandang masyarakat biasa yang terbawa perasaan, melainkan dari sudut pandang orang jahat atau orang yang disangka jahat.
Pertama, bayangkan yang didakwa adalah anda. Apabila anda orang kaya jahat yang benar-benar melakukan tindak kejahatan, misalnya mencuri uang negara. Lalu ada orang yang tahu perbuatan anda dan melaporkannya pada lembaga peradilan, apakah yang akan anda lakukan ? bisa jadi menyuap apabila ada oknum yang bersedia diajak bekerja sama dengan resiko penyuapannya terbongkar, bisa jadi menyewa pengacara berkelas yang bisa menyembunyikan fakta yang ada dengan resiko pengacara tersebut kalah oleh pengacara yang lebih kompeten, atau bisa jadi kabur dan menghindari peradilan dengan resiko tidak tenang dan tidak bebas kemanapun. Perbandingan ketiga pilihan tadi adalah 1:1:1 . Sekarang apabila ada orang yang benci terhadap anda dan melaporkan kejahatan anda dengan bukti dan saksi yang telah dimanipulasi padahal anda tidak melakukan tindak kejahatan, apakah yang akan anda lakukan ? Bisa jadi tidak menanggapi panggilan lembaga penyidik dan penyelidik karena anda tidak peduli pada hal tersebut dengan resiko anda dicari dan diminta hadir terus menerus untuk diselidiki lebih lanjut, atau anda menanggapi laporan tersebut tanpa persiapan karena anda merasa benar dan laporan tersebut bersifat sepele. Namun orang yang benci pada anda melaporkan dengan sifat serius ingin memenjarakan anda. Sehingga ia memanipulasi barang bukti dengan cermat sampai menyuap oknum lembaga peradilan untuk memenjarakan anda. Sayangnya, anda diadili tanpa persiapan. Pengacara anda tidak terlalu bagus untuk membela anda sehingga dengan segala bukti yang telah dimanipulasi, anda dianggap benar melakukan kejahatan dan anda dipenjara.
Dari cerita diatas, bisakah anda melihat faktanya ? bahwa kita selaku manusia selalu bermain kemungkinan/probabilitas/judi. Segalanya memiliki resiko. Kebenaran dan kesalahan selalu terlihat samar, tidak ada kaca mata yang memperjelas kebenaran. Segalanya samar dan yang kita lakukan hanyalah menduga-duga, bermain judi. Logika, emosi, hati nurani dan alat yang sudah diberikan tuhan pun tak dapat digunakan manusia secara sempurna, selalu ada celah. Dari prasangka -prasangka tersebutlah kita menghakimi tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Prasangka bisa bernilai salah atau benar. Bila prasangka kita salah, maka kita membunuh orang yang didakwa tersebut, bukan secara raga melainkan jiwa. Orang yang didakwa tersebut akan tersudutkan, dicap sampah, dan bila jiwanya lemah, hasrat hidupnya akan mati. Dan bila prasangka kita benar, benarkah kita telah menegakkan keadilan, dengan memperlakukan manusia layaknya sampah ? Akankah celaan dan hinaan mengubah sampah menjadi hal yang bermanfaat ?
Semoga kita semua merasakannya. Semoga kaca mata kita dapat melihat kebenaran. Semoga pikiran kita dengan kesadarannya mengendalikan kita sebelum emosi mengambil alihnya. Apabila kebenaran terlihat samar, semoga kita semua dapat melihat dari berbagai sudut pandang sehingga kesimpulan akan menjadi benar. Dan semoga kita tak mempergunakan prasangka untuk hal yang salah. Apabila sudah terjadi, kuatkanlah jiwa yang tersudut akibat prasangka dengan segala kesalahannya.