lostboy.jpg

Memang gelisah dan penyesalan itu munculnya selalu di akhir, apalagi siswa kelas 3 SMA yang masih dalam masa peralihan anak menjadi dewasa. Yang dulunya ingin jadi pemes di kelas sebelumnya, terkenal di sekolah karena tampangnya, pintarnya, supelnya, dan prestasinya, di kelas 3 tiba-tiba bingung dan bertanya, “Perasaan baru saja kemarin upacara penerimaan, lah kok sudah mau lulus lagi?”

Lalu guru BK datang ke kelasnya menjelaskan universitas-universitas yang ada di dunia sambil menanyai tiap siswa, “Mau kemana kamu? Mau jadi apa kamu?”

Duh, dulu aku masih push rank, hangout ke mall, traveling bareng si sayang, nongkrong cantik di kantin sekolah, bolos pelajaran, mana ada waktu untuk memikirkan pertanyaan yang tidak berguna seperti itu?

Selanjutnya, ada pemuda berkemeja rapih kayak mau cari kerja datang ke kelas mengaku sebagai entrepreneur, memberikan motivasi seputar bisnis, punya uang banyak, dan sebagainya, lantas orang-orang yang sadar telah lupa tujuannya itu langsung bersorak gembira.

“Aku mau jadi pengusaha!” “Wkwkwkwkwk lihat tuh si Emir yang pintar Matematika, nanti dia kerja di perusahaan aku. Aku yang jadi bosnya, dia karyawannya.” “Iya-iya seperti yang diceritakan oleh orang-orang sukses, yang berperingkat 1 jadi bawahannya yang berperingkat 300 jadi bosnya. Haha” “Iya deh, ngapain belajar matematika, yang digunakan kan cuma operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Mau beli barang di pasar, siapa sih yang minta bayar 10 pangkat 10.000?” “Iya-iya, saat kita mendorong meja pun kita tidak perlu memikirkan berapa Newton yang harus dikeluarkan agar meja bisa bergerak dengan percepatan konstan!”

Semuanya memang sedang bercanda, tapi si penulis menganggap serius percakapan tadi karena si penulis itu adalah Emir dan sejenisnya. Alangkah bahagianya bila semua hal dijadikan candaan. Alangkah leganya bila semua hal dijadikan keseriusan. Orang yang paling humoris biasanya pintar, tapi orang yang paling pintar belum tentu humoris.


Si penulis yang berlebihan atau kenyataannya seperti itu. Kadang heran juga, kenapa dia tumbuh di lingkungan seperti itu. Lingkungan yang kurang mengedepankan berpikir kritis untuk jangka panjang. Seolah-olah bebas untuk mengatakan dan berbuat apapun selama itu menyenangkan dirinya dan orang lain.

Entah karena mereka merasa tidak memiliki potensi untuk membuat kehidupan kemanusiaan lebih baik, entah mereka tidak tahu bahwa masih banyak manusia yang tidak merasakan kesenangan yang dirasakannya, entah Tuhan sudah menakdirkannya seperti itu, agar si penulis itu merasa lebih baik dari mereka, hanya karena memiliki sedikit kesadaran.

Eskapisme berakar dalam lingkungan sosial, tidak hanya pada individu. Apa yang dianggap benar oleh realitas sosial, meskipun gila dan tidak masuk akal, maka itu akan menjadi kebenaran. Sedangkan minoritas individu yang memiliki idealisme lebih masuk akal, akan tersisihkan karena tertekan oleh ide gila dari realitas sosial tadi. Yang pada akhirnya melahirkan orang-orang yang bertuhan pada kesenangan.

Dan manusia-manusia ini membuat si penulis menjadi mereka juga pada akhirnya. Pada akhirnya, si penulis hanya menuhankan kesenangan. Kesenangan dalam hal kepercayaan.

Pada saat itu, ia percaya bahwa itu adalah rasa benci akan tertawaan orang lain, tapi pada akhirnya ia merasa bahwa ia lebih dari yang lain karena “ditertawakan”. Dan ia menekan moralitasnya untuk bangga terhadap apa yang ia percayai, sebuah pertahanan diri dengan mempertahankan kesadarannya dan kepercayaannya.

Bukankah semua memang harus berakhir pada kesenangan? Dan apapun bentuknya dan kapanpun masanya, bukankah itu bagian dari kesenangan juga? Lalu dimana letak kesalahan mereka? Di manakah letak kesalahan orang yang menyukai matematika yang tidak menyukai orang-orang yang senang, yang tertawa, yang dengan kebenciaannya itu menjadikannya senang atas apa yang ia percayai? Di manakah letak kesalahannya, tolol?

INTINYA 1, konspirasi selalu bekerja dalam setiap momen. New World Order, Butterfly Effect, Praktek neo-okultisme, SETAN, dan sebagainya tetap menjadi pilihanku dalam menyalahkan.

Seperti kata guru fisikaku yang kalau dilihat-lihat seperti si botak di Family Guy, naik motor Dilan dan kerjaannya ngudud, tidak berwibawa tapi selalu punya sisi jenaka, jadinya aku makin cinta.

“Aneh dek, Indonesia seolah-olah dibuat bodoh begitu saja, disusupi apa gitu kayaknya. Kerjanya aja khotbah, jangan mencuri uang banyak yang korupsi. Kalau aku jadi Gusti Allah dek, aku kiamatkan nih dunia. Tahu gak daerah mana yang pertama kali aku kasih meteor? HAHA betul dek, Sma***!”

“Lihat noh pakai mata kepala lu sendiri! Apakah aku atau kamu yang salah?” “Aku nih ya orang jujur, tapi karena aku orang kecil, ya aku yang disalahkan.” “Nanti muncul lagi di koran.” “Gentleman dong dek.” “Guru ngomong kasar, si anjis, bodoh, ngomong lu aku mana ada guru gitu, dilaporin lagi, aku lagi aku lagi, siapa yang salah aku apa kamu.”


Dalam sebuah dunia yang semakin gelap, Emir terperangkap dalam kebingungan dan kekosongan. Peralihan dari masa remaja ke dewasa membawanya pada penyesalan dan keraguan yang mendalam. Ketika guru BK datang ke kelasnya dan bertanya tentang masa depan, Emir merasa terhanyut dalam kebimbangan.

Perlahan, Emir menyadari bahwa harapan-harapan dan mimpi-mimpinya telah sirna. Ia melihat teman-temannya mengikuti arus, terjebak dalam dunia kesenangan sementara, dan kehilangan pandangan jangka panjang. Lingkungan sosial yang membesarkan mereka tidak mendorong pemikiran kritis atau idealisme.

Dalam keputusasaan, Emir terperangkap dalam dunianya sendiri. Ia menyalahkan konspirasi dan kekuatan gelap yang tidak tampak. Emir merasa bahwa hanya dengan menyalahkan faktor eksternal, ia dapat membenarkan kebingungannya dan merasa lebih baik daripada orang lain.

Namun, kesenangan yang ia kejar hanya menambah keraguan dan kekosongan dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa hanya menuju kesenangan dan tidak memiliki tujuan yang jelas adalah kehampaan.

Dalam kegagapan dan kesendiriannya, Emir menghadapi realitas yang tidak dapat ia terima. Ia menyadari bahwa kesalahannya terletak pada ketidakmampuannya untuk memahami kebahagiaan yang sejati. Kepercayaannya yang cacat pada konspirasi dan penyalahgunaan kekuatan hanya menghancurkan dirinya sendiri.

Dalam kegelapan pikiran dan hatinya, Emir merenung tentang kebenaran yang hilang. Ia terjebak dalam kesendirian dan kesia-siaan yang menghantuinya. Keputusasaan dan penyesalan menjadi teman setia dalam perjalanan hidupnya.

Pada akhirnya, Emir menyadari bahwa tak ada jalan keluar dari lingkaran kehampaan yang ia ciptakan. Ia tenggelam dalam kebingungan dan kekosongan, tak mampu menemukan arti atau tujuan yang nyata. Hidupnya terenggut oleh kesedihan dan kegagalan, dan ia terperangkap dalam kegelapan abadi.