Membalas thread ini:
Orang yang percaya "banyak anak banyak rezeki" akan percaya kesejahteraan anak itu "nasib anak" bukan "tanggung jawab orang tua".
— Ultramarine (@Okihita) July 14, 2020
Gue berisik dalam "menyalahkan orang-tua jika anak tidak sejahtera", karena itu cara paling efektif dalam melawan budaya "banyak anak banyak rezeki". https://t.co/TVtEeFUUGF
Masnya mungkin tidak sadar, bahwa kehadiran orang-orang seperti itu rezeki buat mas.
Bahwa masnya bisa merasa lebih baik karena bisa membaca data, angka-angka statistik, paham betul mengenai banyak literasi saintifik berbasis logika, sedangkan nilai dan latar belakangnya saja beda-beda.
Mereka mungkin tidak seperti mas yang “pintar” mencari rezeki sesuai definisinya. Tapi bisa saja rezeki yang mereka dapatkan melebihi definisi sesungguhnya rezeki.
Mengeluh tapi tidak pernah merasa bertanggung jawab, mendapat sedikit materi tapi merasa cukup. Tapi mereka-mereka tidak mendapat rezeki seperti yang mas dapatkan.
Seperti misalnya, mungkin mas dapat rezeki keraguan dan kehampaan akan kehidupan, ketidaktahuan akan dibawa kemana setelah mati, atau merasa semuanya dapat dipahami dengan logika.
Masnya mungkin dapat rezeki seperti yang orang-orang barat dapatkan, kelimpahan intelektual, materi, dan hiburan. Tapi pasti ada rezeki lain yang mas tidak harapkan seperti itu, berupa kehampaan akan tujuan atau justru merasa terpenuhi karena kehampaan itu, dan mereka bisa jadi tidak dapat rezeki itu, atau bahkan diberikan lebih dari masnya.
Pada dasarnya rezeki itu tergantung siapa yang mendefinisikan. Tweet masnya juga bagi saya rezeki, dan saya merasa cukup dengan rezeki yang dapatkan. Meski menurut definisi masnya mungkin saya termasuk miskin.
Dan memang banyak yang tidak bisa dilihat oleh orang yang menajamkan hanya “sebagian alat”-nya, seperti masnya yang menajamkan rasionalitas, atau orang-orang yang mas sebut sebagai orang pemalas dan tidak terstruktur yang justru menajamkan spiritualias fana nya yang mas mungkin anggap hina.
Tapi begitulah rezeki, dan menurut saya itu tidak hanya berbentuk angka. Dan mencoba melatih berbagai alat untuk memahami, tidak hanya melatih rasionalitas, mungkin dengan begitu masnya bisa “lebih memahami” sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh rasionalitas.