https://news.detik.com/berita/d-5168493/cerita-di-balik-kontroversi-sertifikasi-dai-kemenag---mui
Kelompok lain sudah menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memanipulasi data dan psikologi massa dalam rangka memenangkan pemilu. Namun, pada saat yang sama, kita tengah menghadapi perpecahan di antara rakyat menggunakan metode sertifikasi yang beragam. Semua ini terjadi di tengah situasi pandemi yang lebih memperburuk keadaan. Saya mengerti bahwa tujuannya mungkin ingin meredakan perbedaan pendapat, tetapi seolah-olah kita sedang menciptakan masalah yang lebih besar di masa depan dengan menciptakan ketegangan yang lebih besar di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Namun, perlu saya ingatkan bahwa pendekatan seperti ini sudah ketinggalan zaman. Tujuan yang ingin dicapai dengan cara ini seakan tidak jelas. Jika niatnya adalah untuk melindungi diri sendiri dari perspektif masyarakat yang berbeda, sebaiknya kita belajar dari pengalaman zaman kolonial. Teknologi saat itu mungkin tidak sehebat sekarang, tetapi penjajah memiliki cara lebih maju dalam memahami dinamika masyarakat.
Prinsip “Devide et Impera” masih berlaku. Jika terdapat dua pihak yang berseberangan, mengaduk-aduk sedikit bisa menyebabkan bentrokan, dan masyarakat akan menilai sendiri manakah yang benar. Saat terjadi kerusuhan, hanya kedua pihak yang berbenturan yang bisa disalahkan, sedangkan kekuasaan, reputasi, dan bisnis tetap aman.
Jika tujuannya adalah melindungi negara, kita harus lebih cerdas dalam pendekatan ini. Ada banyak ahli di berbagai bidang seperti teknik, psikologi, antropologi, serta para ulama yang bisa memberikan kontribusi berharga. Solusinya bukanlah menciptakan kekacauan di mana-mana. Selain itu, definisi “radikal” juga perlu diperjelas. Jika ada yang ingin mengubah ideologi Indonesia, sebaiknya dijelaskan mengapa perubahan tersebut tidak diperlukan. Jika penjelasan ini tetap tidak diterima, mungkin masalahnya ada pada cara kita menjelaskan. Mungkin kita belum memiliki keahlian persuasif yang memadai.
Saya ingin menawarkan solusi yang lebih sederhana: Kumpulkan data dari semua masjid dan tempat lain yang dianggap radikal. Kemudian, jelaskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan “radikal.” Edukasi manajemen masjid untuk membangun masyarakat yang berkualitas dalam aspek agama dan dunia. Jika ada perbedaan pandangan, panggil dan ajak berdiskusi dengan baik, kemudian sampaikan melalui media sosial atau di tempat-tempat yang masih menggunakan televisi.
Selanjutnya, integrasikan semua aspek dengan teknologi, termasuk jadwal, keuangan, dan lainnya. Ajak masyarakat sekitar yang memiliki pengetahuan dalam berbagai bidang untuk membantu dalam mengorganisir kegiatan edukatif. Ajak masyarakat untuk aktif dalam membangun masjid, baik secara fisik maupun nonfisik. Jangan langsung membubarkan ustad yang dianggap radikal, tetapi lawan dengan argumentasi yang kuat. Ajak manajemen masjid untuk menyelenggarakan acara perdebatan antara pandangan yang berseberangan. Semua ini bisa diunggah di platform seperti YouTube agar masyarakat bisa melihat siapa yang lebih memiliki argumen yang kuat.
Sebagai seorang menteri dengan kekuasaan dan sumber daya, seharusnya Anda dapat menginspirasi masyarakat dengan hal-hal yang positif. Namun, terkadang yang terlihat hanyalah hal-hal yang konyol dan perpecahan. Saya berharap Anda bisa melihat potensi positif dalam mengatasi perbedaan dan membangun persatuan.