Setiap propaganda kebutuhan akan privasi hanyalah omong kosong. Hal ini mirip dengan ide komunisme yang begitu indah dalam imajinasi tetapi gagal dalam realisasinya. Dan itu berlaku untuk Snowden. Mereka yang memperjuangkan kebebasan manusia di wilayah mana pun di dunia hanyalah sekelompok megalomania. Bila sesorang tidak punya kuasa tetapi kebutuhan akan eksistensinya sedang menggebu-gebu, lahirlah snowden. Bertindak seolah-olah apa yang dia tahu benar untuknya adalah benar untuk semua orang. Kebenaran, kebaikan, kebebasan, omong kosong macam apa itu?

Dia tidak memperhatikan lingkungan saat itu, memperjuangkan hak individualitas, memerangi common sense adalah hal yang bertentangan dengan akal masyarakat. Dan hal itu sungguh tidak akan mengubah apapun yang dianggapnya benar, karena ia telah memberi tahu semuanya tentang sampah yang dilihatnya dan dipikirkannya. Lebih buruk daripada pelawak yang menipu agar orang lain tertawa. Kebutuhan akan eksistensinya melebihi pelawak, sehingga ia perlu melakukan hal seperti itu. Berharap orang menganggapnya sebagai pahlawan karena telah menyebarkan kebenaran. Namun, saat melakukan tindakan itu, Snowden tidak bertanya, memangnya masyarakat memerlukan kebenaran?

Kebenaran tidak menghibur, kebenaran membuahkan pertentangan dan kekacauan, apakah itu yang diinginkannya? Menampilkan diri sebagai pahlawan yang menyuarakan kebenaran, tanpa sadar ia hanya menggumamkan idenya tentang apa yang dianggapnya benar, menyebarkan virus dan ketakutan, membuat orang perlu sadar dengan wajah marahnya bahwa yang berwajah geram dan murka adalah yang perlu diikuti. Bahwa untuk menjadi bebas orang harus menjadi seperti apa yang diidekannya, bukan benar-benar menjunjung tinggi hak individualitas akan tanggung jawab, tapi lagi-lagi ingin membentuk akal masyarakat yang berpihak padanya sebagai “yang benar”. Saat sudah banyak pertentangan, ia malas mencari jalan keluar yang seperti dengan lobi-lobi ala pebisnis yang rendah hati dan pasti memenangi setiap negosiasi, tapi ia malah tampil sebagai orang yang diperkosa yang teriak-teriak kesakitan, yang mana ia hanya memerkosa dirinya sendiri dan hanya menginginkan hiburan serta hukuman bagi siapa pun yang tidak disukainya. Menjadikan narsisis sebagai pahlawan, memangnya sebodoh apa anda?

Ada orang yang lahir sebagai budak, ada orang yang lahir sebagai seorang yang merdeka. Dan yang menentukannya bukanlah ia sendiri, melainkan variabel-variabel di sekelilingnya. Ada yang lahir sebagai budak tapi kebutuhannya akan kebebasan memesonanya, ada yang lahir sebagai bebas tapi ia sangat butuh diperbudak ekspektasi masyarakat dan iklan-iklan di youtube dan Instagram. Maka suatu keanehan apabila kebebasan itu diperjuangkan sedangkan kebutuhan kebebasan setiap orang berbeda-beda. Lihatlah begitu majunya Pendidikan orang-orang materialistik Barat sehingga dapat mengkritisi pendidikannya sendiri bahwa yang materi itu tidak selalu perlu diperjuangkan. Dan kesamaan-kesamaan tujuan atau kebutuhan itu bukanlah sesuatu hal yang perlu diperjuangkan juga. Ada yang butuh menjadi budak, ada yang butuh menjadi bebas. Tapi Snowden malah merasa bahwa semuanya harus menjadi bebas, mengerdilkan para budak, padahal itu adalah jati dirinya. Bukankah setiap unsur perlu memaksimalkan potensi jati dirinya? Ini yang tidak pernah diihat oleh para penggiat modern educayshun yang selalu menyamaratakan semuanya.

Berteriak mengenai kebutuhan akan privasi, sekerdil apa manusia sehingga ia perlu menjaga privasinya? Bukankah ia sadar dari bitcoin, bahwa sesuatu yang langka akan menjadi mahal, meskipun itu hanyalah akal-akalan bodoh para intelektual yang memperjuangkan apa yang diperjuangkannya? Dan banyak orang tergoda oleh ide gila ini. Privasi itu tidak berharga, seperti bitcoin, tidak berguna, hanya orang orang aneh yang memerjuangkannya. Privasi akan dianggap berharga apabila kerumunan dan perkumpulan menganggapnya berharga, dan saat ide itu menyebar ke kerumuman yang lain, maka berhargalah privasi itu. Hilanglah kemanusiaan itu dan yang tersisa hanyalah individualitas yang dipenuhi dinding-dinding privasi. Bukannya menjunjung tinggi kemanusiaan, tapi keduanya seharusnya berjalan beriringan dan saling melengkapi. Dan apabila kebutuhan privasi sangat langka, akan ada tangan-tangan nakal yang berusaha menggapainya karena ia sangat berharga, menjadikan setiap individu waspada dan dengan era yang penuh pertentangan ini akan melahirkan banyak uncertainty sehingga aspek kemanusiaan akan sulit untuk dijaga kelestariannya.

Apalagi di Indonesia, konsep privasi itu sangat tidak berharga, dan memang sudah sepatutnya seperti itu, tidak perlu diperjuangkan untuk menjadi berharga. Apalagi di lingkungan Muslim, privasi sangatlah tidak berharga, karena semuanya sudah diatur pada apa yang menjadi pedomannya pada Islam, berperilaku sewajarnya, tetapi sayangnya di Indonesia lebih banyak Muslim daripada Islam, sehingga privasi menjadi langka dan berharga, sudah condong seperti banyak negara libertarian penjunjung tinggi privasi dan kebebasan. Dan Snowden turut andil dalam kekacauan ini. Dalam Islam privasi sangat tidak berharga, karena ada nilai yang menjadi pedomannya, memerjuangkan kemanusiaan dan individualitas sekaligus, bukan hanya individualitas yang menjadi momok bagi para penggiat kebutuhan privasi. Hal itu Sudah menjadi pedoman, dan apabila ada pedoman yang dilanggar sedangkan ada masyarakat yang mengetahuinya, masyarakat yang mengetahuinya itu akan melupakannya dan pura-pura tidak pernah melihatnya karena mengikuti pedoman, sehingga privasi yang hilang itu tidak akan menjadi berharga lagi. Tapi kepolosan Indonesia itu sudah teracuni oleh tangan-tangan tak terlihat dari kelompok media yang menganggap privasi itu berharga, tentu setiap media menganggap setiap privasi itu berharga atas semangat individualitas kapitalistiknya, teracuni oleh para kelompok seperti Snowden. Dan memang individu dan sosialisme itulah idealnya, bukan ide malas yang diperjuangkan oleh Snowden dan teman-temannya.

Revolusi Bitcoin adalah salah satu produk unggulan dari kebodohan kelompoknya. Namun, setidaknya mereka meneriakkan bahwa apa yang berharga itu sesuai kesepakatan Bersama. Untuk melawan tiran yang mencetak uang sepuasnya katanya, tapi ironinya ide awal yang cukup mempesona itu malah menjadi tiran setelahnya. Betapa tidak masuk akalnya, orang-orang yang hanya diam membeli sebongkah ide virtual menjadi terpandang di masyarakat karena masyarakat melihatnya sebagai angka yang dapat dibutuhkan. Tapi memang itulah katanya yang selalu stabil di dunia ini, yaitu akan ketidakmasuk akalannya, keabsurdannya. Dengan transaksi yang terus terjadi, mustahil orang orang tidak teracuni oleh hal ini. Menambang virtual katanya, dan bagaima kumpulan manusia bisa menyepakati ide gila ini, bahwa ide adalah hal yang terindah, ide gila ini bukan dari Satoshi Nakamoto, melainkan ide akal pendek dari Plato.

Romantisisme privasi yang sangat jenaka. Kelompoknya itu menanamkan bahwa semuanya harus menjadi merdeka. Yang mana semuanya padahal selalu menjadi budak, dan idealnya adalah ada tuan dan ada juga budak. Melihat grafik naik turun, mengatakan hal itu logika, matematika, dan pengalaman. Berawal dari transaksi jaringan P2P hingga berakhir menjadi derivative yang diperdagangkan, dan jual beli antar grafik. Bitcoin menjadi pionir koin-koin aneh lainnya, dan makin banyak pejuang grafik yang merasa ia bisa bebas, merdeka, secara finansial, ide aneh yang diciptakan kumpulannya, dengan ia tidak perlu bekerja di kantor-kantor. Melainkan hanya tinggal duduk diam, mempelajari apa yang namanya teknikal dan fundamental, yang pada dasarnya hal itu hanyalah akal-akalan busuk orang social yang menganggap volatilitas dan risk dapat menjadi keuntungan, sedangkan yang dilakukannya padahal tidak lain dari judi, seperti judi kehidupan manusia pada umumnya. Tuhan itu bukan pelempar dadu, tapi akibat dari kelompoknya, orang-orang mencuri secara legal, melalui jual beli virtual yang didasari naik turunnya grafik. Orang yang merasa hebat akan membagikannya dan merasa semua orang perlu mengikutinya, semakin naik pulalah kapabilitasnya untuk menipu. Dan hal ini tidak lain membentuk kebutuhan baru yang lebih menjijikan daripada kebutuhan akan menjadi budak. Yaitu kebutuhan hiburan akan ide (memang seharusnya imajinasi, tapi ini merupakan eufisme dari yang seharusnya agar tidak membuat kecewa kelompoknya) merdeka, sedangkan pada nyatanya ia diperbudak imajinasinya, diperbudak benda virtual dan konsep akan privasi, dan diperbudak oleh orang yang lebih dahulu menyarankan tentang ide gila ini. Dan pada akhirnya konsep ini tidak lain hanya akan melahirkan banyak pencuri yang andal dan manipulatif. Pencuri itu sebenarnya dibutuhkan, tapi tidak sedibutuhkan apa yang diidekan oleh Snowden dan kelompoknya.

Privasi ini lagi-lagi yang merusak tatanan yang sudah natural. Melawan perusahaan besar yang katanya mengolah dan menyalahgunakan data hanya untuk kelompoknya. Bukankah perusahaan itu ada karena ada usaha, sehingga ia yang berusaha bebas menggunakan apa saja yang mengalir kepada usahanya. Pelacakan dan iklan ditentangnya, padahal hal itu diperlukan oleh para budak. Para budak selalu narsisis ingin diperhatikan oleh tuannya, dan ia perlu beli apa saja yang diiklankan padanya apabila itu dari tuan. Budak selalu menganggap itu baik untuknya apabila itu dari tuan, dan itu kebutuhan budak. Kelompoknya tidak akan pernah mengerti bahwa ada sebagian yang berkebutuhan menjadi budak dan tidak akan dapat hidup mencapai potensi terbaiknya apabila ia tidak menjadi budak. Kelompoknya menginginkan bahwa semuanya harus menjadi merdeka dan bertanggung jawab, tapi orang bodoh macam mana yang setuju bahwa tanggung jawab itu harus dimiliki setiap individu. Seperti potongan kata bahwa hidup itu bukan masalah untuk diselesaikan, melainkan pengalaman untuk dirasakan. Dari satu orang itu saja seharusnya kelompoknya tahu bahwa tanggung jawab tidak diperlukan setiap individu, hanya orang-orang tertentu saja.

Setiap interaksi yang dilakukan manusia melalui aplikasi pelacak tentu akan dapat membuat perusahaan kaya raya. DuckDuckGo, perusahaan pesaing Google yang memiliki kesamaan visi dengan kelompoknya, menyebutkan bahwa setiap interaksi itu memiliki nilai dilihat dari kesepakatan orang-orang yang menggunakan uang kertas, karena dapat digunakan untuk penelitian mengenai pembuatan model matematika yang dapat merekomendasikan kesemuanya. Lihatlah Namanya, sangat tidak catchy, melambangkan kemalasan pemikiran, menggaungkan bahwa semuanya harus mengganti search enginenya dengan miliknya, sedangkan hal itu tidak lain hanyalah akal busuk penipu yang tidak miliki kuasa tapi ingin menguasai semuanya secara instan, dan konsep privasi itu menjadi alat untuk mendukungnya mencapai apa yang ditujuankannya.

Lihatlah kembali ide orang Muslim yang menganggap bahwa privasi itu tidak berharga. Mengenai perlindungan data, hal itu sangat kontra produktif dari apa yang seharusnya dilakukan manusia. Semuanya menjadi saling menipu hanya untuk dapat hidup. Hal itu tidak salah, tapi jangan semuanya, para orang bijak sekalipun menipu dirinya hanya agar dapat eksis sebagai apa yang dianggapnya sebagai bijak. Tidak perlu merasa bahwa privasi itu diperlukan setiap orang. Privasi sangat tidak berharga bagi setiap budak, sedangkan semua manusia adalah budak. Budak, ingin menampakan eksistensinya juga, ingin dilacak setiap saat, ingin menjadi berguna dan ingin digunakan, bukankah hal itu win win solution. Apalagi ditambah dengan konsepsi seorang Muslim, bahwa data itu menjadi bernilai, maka sudah sewajarnya apabila itu disedekahkan. Menelpon keluarganya dan sedang disadap oleh para intelek, hal itu bukanlah bentuk kejahatan, karena orang intelek yang menyadap itu dapat dimaafkan dan dianggap sebagai keluarga. Keluarga universal berupa kemanusiaan tak terbatas berlandaskan tanggung jawab. Maka setiap Muslim memang begitu seharusnya, tidak memandang tinggi privasi karena semuanya menjaga privasi sesamanya. Menyedekahkan setiap ketikan keyboardnya saat melakukan chatting dengan temannya karena hal itu merupakan kewajaran, tidak ada unsur yang dapat membuat gelisah saat hal itu dilakukan. Tidak seperti para trader obat, anak di bawah umur, atau grafis telanjang menjinjikan yang semuaya memerlukan privasi. Dan setiap data lain yang diberikan secara cuma-cuma itu disedekahkan kepada setiap perusahaan yang berusaha, bukti terima kasihnya terhadap orang-orang intelektual yang entahlah apa yang dilakukannya, tapi semua itu berawal dari kepercayaan, cinta akan tidak begitu berharganya privasi, cinta budak terhadap tuannya, dan cinta yang tulus akan membawa tuan juga cinta terhadap budaknya, sehingga melahirkan cinta universal dan kepercayaan yang berkembang menuju segala hal yang tak tampak.

Terakhir, tentang kuasa yang dimiliki para tuan. Lagi-lagi mereka menginginkan bahwa setiap individu menjadi tuannya sendiri. Hal ini merupakan suatu hal yang konyol, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa tidak semuanya memiliki kebutuhan akan merdeka, ada sebagian yang butuh menjadi budak. Karena dengan menjadi budak ia dapat mencapai potensi terbaiknya. Lihatlah para budak yang dinamakan mahasiswa itu, berdemo secara terus menerus sedangkan ia tidak tahu apa yang didemokannya, seperti Snowden yang berteriak bahwa tuannya adalah hal yang jahat, sedangkan ia malas berpikir sehingga bertindak secepatnya tidak lain hanya demi kebutuhan akan eksistensinya. Padahal para budak itu dapat melakukan sesuatu yang lebih produktif dengan cara yang elegan, tapi mereka haus akan eksistensi sehingga hanya ingin berteriak-teriak di depan tuan, padahal mereka tau bahwa tuannya adalah seorang tuli dan tidak memiliki kemampuan menerjemahkan bahasa isyarat. Budak yang memaksimalkan potensinya tidak perlu begitu, bukan untuk meneriaki tuan yang tuli, tapi ia mainkan propagandanya yang elegan, diam di depan komputer dan HP, memaksimalkan potensi terbaiknya menjadi perkumpulan budak yang memengaruhi budak lain agar dapat membunuh tuan-tuan tuli tadi, dan memastikan tidak ada tuan tuli itu lagi di kemudian hari. Namun sayangnya, budak-budak itu bukannya inign memaksimalkan potensinya, tapi ia malah ingin menjadi tuan. Hingga kapan pun budak tidak akan pernah menjadi tuan dan tidak akan becus menjadi tuan. Tapi ide gila dari kelompok Snowden itu menyebutkan bahwa setiap individu harus menjadi tuan, ide konyol Nietzsche, seorang yang menggaungkan kebutuhan akan kuasa sedangkan ia sendiri mati perjaka dan dibunuh oleh tuhannya sendiri yang katanya orang-orang pada masanya telah membunuhnya.

Desentralisasi internet tidak akan berjalan dan web3 itu suatu kekonyolan karena tidak aturan. Tidak semuanya bisa menjadi tuan, dan sebagian besar memang membutuhkan menjadi budak. Hal itu akan membuat semuanya tidak perlu aturan sedangkan semuanya tahu bahwa tanggung jawab itu tidak dimiliki setiap individu karena kebutuhan akan tanggung jawab juga tidak diperlukan setiap individu. Salah satu penyebabnya bukanlah 51% attack yang ditakutkan oleh para teknisi, dan single point of failurenya bukanlah pada node yang tidak bisa bekerja dan memanipulasi, melainkan salah satu bentuk kesalahannya adalah pada individu yang tidak memiliki tanggung jawab. Ketidaktanggung jawaban itu menyebar karena ia sangat mempesona. Kemalasan selalu diidamkan oleh banyak orang, ingin terlihat memiliki semuanya tapi ingin juga dilihat sebagai pemalas. Kebutuhan akan eksistensi yang besar, ketidaktanggung jawaban, dan kemalasanlah yang membuat mahasiswa itu demo sedangkan tahu bahwa teriakannya tidak akan didengar, atau bagaimana pencuri nilai lewat grafik itu berperilaku sedangkan ia tahu bahwa yang dilakukannya bukanlah suatu bentuk aktivitas yang menciptakan nilai. Hal itu hanya melahirkan generasi gamers yang selalu menginginkan gratifikasi instan dari setiap klik dan tap dari layar atau keyboardnya. Itulah single point of failure dari desentralisasi internet, ketidak tanggung jawaban.

Tapi dengan adanya tuan dan budak, semuanya bisa mencapai potensi setiapnya. Tuan bisa berperilaku semena-mena, budak bisa berteriak sepuasnya, dan semuanya dapat mencapai apa yang dibutuhkannya. Apabila para tuan itu tidak becus dan tanggung jawab, budak dapat melayangkan spekulasi pernyataan untuk memengaruhi kelompoknya. Sebagian tuan dapat dihancurkan dan digantikan, budak menjadi tuan, dan tuan menjadi budak, pergantian yang sangat adil, yang pada dasarnya semuanya adalah budak dan semuanya adalah tuan. Budak akan terpenuhi kebutuhannya dan bertambah apabila tuan melakukan kesalahan. Kebutuhan akan penerimaan kerdil dari sendiri, berupa moralitas dan perasaan lebih daripada tuan karena ia tidak berperlaku sebagai tuan yang jahat. Sedangkan tuan bisa berperilaku sepuasnya memperkaya diri dan bersikap narsistik bahwa ia dibutuhkan oleh para budaknya. Dan para budaknya juga akan diuntungkan oleh ide konyolnya bahwa setiap tuan yang jahat itu akan dipertanggung jawabkan setelah mati, sehingga para budak dapat tertawa dan berperilaku seolah menjadi tuannya itu saat disiksa setelah dan sebelum hidup.

Maka dari itu, saya tegaskan sekali lagi, bahwa ide Snowden dan kelompoknya itu nonsense. Tidak semuanya butuh privasi, ada yang butuh menjadi budak, ada pula yang butuh merdeka. Dan tidak perlu saling memanipulasi, karena setiap variabel telah memainkan perannya masing-masing. Bukankah idealnya begitu? Dan realitas itu, bukannya menjijikan juga? Maka cintalah pada ide, cinta jugalah pada realitas. Snowden dan para mahasiswa pendemo itu bukanlah pahlawan, tapi bukankah kita perlu mencintai realitas juga?