secara cocoklogi, kronologi simpelnya kaya gini

masalah lingkungan > pandemi > stimulus US > yang bercukupan bingung naruh uang dimana > influencers/manipulators speak > inflasi aset-aset kripto


Kenapa harus tahu crypto

Kenapa harus tau crypto, blockchain, dan sejenisnya

.

.

.

Sebelumnya saya agak pesimis tentang perkembangan teknologi. Sebagai anak Sistem Informasi yang dituntut untuk mengefisiensikan apapun, ada dilema moral saat tau masalah terbesar mengembangkan sistem informasi bukan terletak pada teknologinya, melainkan manusianya. Artinya, saat semuanya sudah efisien dengan alat teknologi, untuk apa mempekerjakan manusia lagi? Timbul pertanyaan lagi, kaum pemodal bisa menjadi pemodal itu bagaimana sejarahnya, dan mengapa selalu mereka yang disalahkan atas ketidakadilan, atas berbagai kesenjangan?

Tapi akhirnya saya sadar, tidak ada pesimisme dan optimisme dalam perkembangan teknologi. Einstein atau Oppenheimer tidak pernah salah saat Bom Nuklir dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Itu semua hanyalah siklus perkembangan teknologi, tidak ada pesimisme dan optimisme. Perkembangan teknologi adalah kata sifat itu sendiri.

Salah satu teknologi yang menghapuskan kepesimisan saya terhadap berbagai ketidakadilan dan kesenjangan adalah blockchain.

Dulu ingin buka bisnis harus cari dana, dari pinjem bank, cari angel investor, cari venture capitalist, dan lain sebaginya. Ingin investasi saham, reksadana, obligasi, dan sejenisnya harus buka rekening saham, isi formulir dan sejenisnya yang mana prosesnya sangat kompleks mengandalkan pihak ketiga (pemerintah, sekuritas, institusi, dll) dimana kita perlu mengekspos informasi pribadi biar bisa ngegunain fasilitasnya.

Sekarang, ingin cari gelontoran dana bisa bikin koin (buat jaringan sendiri) atau yang paling gampang bikin token berbasis blockchain lewat berbagai ekosistem kayak BSC (binance smart chain) atau ERC (Ethereum), TRC, dll, desain web, promosi roadmap, buat tokenomic, marketing lewat sosmed, youtube, twitter, dan lain-lain mengandalkan influencer.

Ga peduli roadmapnya jelas atau nggak, yg penting ada kata kunci blockchain + slogan

“Burn tiap saat, supply token sedikit jadi pasti langka otomatis harga bakal ningkat!”

“Bakal dibuat pasar NFT, ngebantu para pekerja seni!”

“Token ini bakal dibuat program charity!”

“To the moon! Elon musk bakal beli!”

“Harga masih di bawah 1 perak, kalo jadi 1 perak bakal 100000x!”

“Komunitasnya kuat ga akan ada yang dump”

Ga peduli use case-nya, underlying-nya apa sama fundamentalnya apa, orang2 awam yang FOMO bakal terus buy.

Dulu untuk bisa investasi perlu daftar ini itu buat beli saham, itupun hanya saham lokal yang bisa dibeli yang katanya sering dimainin bandar. Sekarang, tinggal masuk ke berbagai crypto exchange, tinggal pinjem KTP orang tua, kalo belum cukup umur, suruh tf >10rb aja udah bisa beli coin/token kaya Bitcoin, dll. Ga perlu lot-lotan. Dengan modal minim, semuanya bisa investasi, bisa spekulasi, bisa judi, dan menang.

Asumsi saya >50% holder atau yang beli berbagai koin, entah itu koin yang top 50 market cap di coinmarket cap atau berbagai token yang ada di berbagai jaringan tidak tahu kegunaannya untuk apa. Tapi saya husnuzon juga orang-orang “sangat” tau koin itu apa dan kegunaannya apa.

10k jadi 100k, 100k jadi 1 jt dan seterusnya

Dengan kemakan pola2 gitu, banyak orang2 FOMO masuk. Ga ada yang tau kenapa harganya bisa naik, kaya ilusi tapi nyata, pure supply and demand. Sistem keuangan secara global, ga peduli backgroundnya apa, negaranya darimana, dan bagaimana. Dan salah satu yang menarik adalah berbagai market defi dengan banyak produk dengan APY yang sangat tidak masuk akal di institusi keuangan tersentralisasi.

Liat dogecoin!

Beli 20k di harga segini terus jadi segini.

Meme coin yang entahlah gunanya apa. Masuk ke top 10 market cap mata uang crypto, dipompom Elon Musk. Ga peduli gunanya apa, kalo mayoritas nganggap itu berharga, ya berharga. Kalo ada yang mau beli, ya tetep ada harganya. “Masih di bawah $5 masih murah”. New paradigm katanya.

Atau ini, shiba inu ROI 1000% persen dalam 2 bulan. Inflasi koin-koin dengan tema anjing dan kebun binatang dengan visi koin hiburan. Banyak orang yang profit, buat bayar hutang pendidikan, buat beli materi ini itu, dan sebagainya.

Ga perlu modal besar untuk “ikut” ke sini. Produk baru terus bermunculan, semuanya bisa ikut investasi dari proyeknya saat baru lahir, salah satu bentuk crowfunding terbaru, tidak diskriminasi terhadap modal minimal dan background investor atau gambler.

Banyak juga program airdrop dimana proyek-proyek baru itu ngedistribusiin koinnya ke orang-orang dengan syarat simpel semacam syarat giveaway, tinggal follow, retweet, atau share, dan kalo beruntung, di waktu yang udah ditentukan bakal dikirim langsung ke wallet, bisa disimpen, dan kalo proyeknya bagus bisa dihold sampai harganya naik. Ada juga program watch/learn to earn, jadi pas udah belajar bisa langsung dapet koinnya yang bisa ditukar ke uang.

Blockchain ini memang menarik, tapi selalu ada tradeoff di semua hal.

Orang Indo banyak yang profit dan jelas ngebawa untung ke perekonomian. Semuanya bisa diputerin lagi. Pertumbuhan ekonomi global turun ada stimulus lagi, lanjut harga2 saham naik, harga2 mata uang kripto naik. Otomatis orang2 scr global bisa dapet profit, gaperlu daftar formulir yang ribet2 buat investasi. Modal minim, profit maksimal, duduk doang dapet uang. Salah satu keajaiban printing money US.

Tapi bayangin, uang beredar makin banyak, makin banyak yang kaya, banyak konsumsi. Produksi barang/jasa otomatis harus ditingkatin. Tapi setiap mesin atau orang punya kapasitas, ga bisa diproduksi unlimited. Banyak permintaan otomatis harga2 bakal naik. Keliatannya ga ada pihak yang dirugikan.

BUT

Bayangin berapa persentase orang yang ga melek informasi, yang masih kesulitan untuk cari makan. Ga tau kalo ada sistem kaya gini.

Tiba2 harga pada naik. Minim informasi ditambah kesulitan untuk usaha atau bisnis. Gimana responnya? Kalo pasrah, well, ga ada masalah.

Tapi kalo ternyata berontak, bakal jadi apa masalahnya? Ya semoga baik2 saja.

#ujung2nya kaya quotes disini, mau kejadian apa2 yang kena justru orang yang gatau apa2

I have a feeling, in a few years people are going to be doing what they always do when the economy tanks. They will be blaming immigrants and poor people. — Big Short

Ada golongan yang kerjanya hanya ibadah, ga tau informasi. Gatau bahwa 10.000 sekarang beda dengan 10.000 jaman dulu, terus susah cari makan. Kalo orang Sufi atau suka meditasi kaya Buddha atau orang Stoic ya santai, tapi bayangin kalo jiwa2 pemberontaknya meronta2.

Ada tokoh agama karismatik, ada orang misterius yang ngerangkul dijanjiin ini itu, disuruh ini itu, langsung manut2 aja karena lapar, karena ngerasa ga punya tempat, karena ngerasa ga punya eksistensi. Bunuh diri dianggap jihad. Yang paling buruk mungkin, terorisme?

Kalo sektor produksi fasilitasnya lengkap ya santai. Tapi kalo banyak sektor produksi yang kurang maju, ga ada inovasi buat ningkatin produksi karena kurang pengetahuan mau gimana? Apalagi pas permintaannya banyak tapi pada cuman mau beli murah, padahal kapasitas produksinya rendah.

Akibatnya sebagian profesi ditinggalin. Impor lagi impor lagi. Bangsa cuman jadi konsumen. Tambah parah kalo orangtua struggle buat nyari nafkah, anak ingin main terus, party, dikasih HP tanpa kontrol, kerjanya cuman mainan ML dan epep.  Umur dibawah 10 tahun main epep pdhl di play store dah jelas buat +18 (OOT)

Makin2 senjang.

Kasus kedua mungkin lebih parah, mental rakyat udah males kerja. Kerjaannya cuman investasi, modal banyak didiemin di crypto. Ekonomi Indonesia lesu gara-gara uangnya banyak ditaruh di crypto. Kalo trader harian yang keluar masuk market cuman buat makan ya mending, ekonomi dalam negeri tetep bakal berputar. Tapi orang-orang kaya yang cari diversifikasi porto, ngeliat saham udah pada overprice akhirnya gambling ke crypto kan ya mau gimana? Tapi menurut saya ini ga bakal terjadi karena literasi orang Indo tentang cryptocurrency dan blockchain masih kurang.

Di lain sisi, banyak sekali pemanfaatan defi untuk money laundring. Orang-orang kemenkeu aja udah dibikin bingung untuk tracking pengemplang pajak, ini ditambah defi yang memudahkan orang-orang pintar untuk mencuci. Bitcoin masih mending bisa ditrack karena sifatnya semi private dari exchanger harusnya ketauan kemana-mananya, tapi kalo udah dipindah ke yang full private, ya gimana ngatasinnya. Di satu sisi negara butuh pemasukan pajak untuk pembangungan fasilitas demi mendukung masyarakat kecil, di sisi lain uang yang harusnya jadi pajak malah ditaruh keluar di luar hukum indonesia.

Manfaat blockchain sebenarnya banyak, desentralized finance (akses langsung ke dunia keuangan global), transfer apa2 gampang + murah, tambah lagi web3 lg dikembangin (internet privacy buat ngehandle masalah kaya di film drama social dilemma walaupun gatau itu bakal jd bom waktu atau ngga dari penipuan, illicit activity dll), komunikasi antar blockchain yg dikembangin berbagai koin, banyak sektor2 bisa lebih efektif efisien, terus buat investor bisa profit (bisa lebih2 dari saham), mudharatnya ya gitu, liberalisasi perlu responsibility dan ethics (tapi jarang ada). High profit means High risk. W bukan blockchain maximalist atau minimalist, pasti ada tradeoff di semuanya.

Intinya apa? ga ada, the future of this technology is full of speculation. Apakah ini double-edged sword? Atau mirip khamr yang mudrahratnya lebih banyak daripada manfaatnya? Wallahu alam

Bukit Algoritma

Berkomentar mengenai rencana pembangungan Bukit Algorithma memang tidak bisa dilakukan siapa saja karena proyek tersebut dibiyayai oleh swasta dan bukan oleh uang negara. Namun, pembangungan tersebut tentunya dilakukan di Indonesia sehingga terdapat irisan yang dapat dikomentari oleh seluruh rakyat Indonesia. Proyek dengan harga triliunan itu, meskipun niatnya baik, menurut saya ada sesuatu yang dapat dilakukan lebih baik dari pada pembangungan tersebut, lebih murah, dan manfaatnya mungkin dapat dirasakan secara general oleh rakyat Indonesia.

Latar belakangnya adalah ingin mengikuti Silicon Valley, dan saya kurang dapat menerima latar belakang semacam ini, berkiblat pada yang lain, pada barat khususnya, seolah-olah yang modern itu semuanya perlu diikuti. Memang Negara China yang terkenal dengan plagiarismenya terbukti maju, dengan sistem surveillencenya yang menimbulkan banyak perdebatan. Di sisi lain, peneliti dari barat menyebutkan bahwa sistem semacam tersebut melanggar hak-hak manusia, di sisi lain dalam beberapa video disebutkan masyarakat China justru merasa aman dengan adanya sistem tersebut. Menurut beberapa orang China, mereka justru merasa bahwa sistem tersebut dapat meningkatkan rasa kepercayaan antara satu sama lain. Dan perdebatan yang seharusnya menurut saya bukanlah mengenai bagaimana cara untuk meningkatkan dan mempercepat perkembangan teknologi. Melainkan akan jadi apa teknologi nanti di masa depan. Melihat saat ini terdapat penelitian-penelitian seperti {insert events here} yang membuat kita bertanya, apakah hal tersebut sesuai dengan etika? Dan menurut saya terlalu jauh untuk berbicara mengenai pembangungan daerah kawasan seperti ‘Silicon Valley’ di Indonesia dimana kesenjangan masih sangat tinggi. Bukannya saya sinis terhadap perkembangan teknologi, tapi setiap daerah memililiki karakteristiknya masing-masing. Dan akan ada ketidakcocokan apabila satu daerah dipaksa untuk mengikuti daerah lain. Selayaknya tabiat pada kepribadian setiap individu, setiap orang itu unik dan tidak bisa dipaksakan untuk menjadi orang lain. Bisa saja dipaksaka, namun dengan konsekuensi hasilnya tidak akan sesuai dengan apa yang dipaksakan sehingga bisa dirasakan bahwa ada keanehan pada outputnya, dan yang lainnya adalah orang tersebut tidak akan mencapai potensi terbaik yang dimilikinya. Mengutip dari Bung Hatta, Indonesia merupakan negara sangat sosial dan itu ciri khas dari Indonesia, seperti gotong royong, kekeluargaan, dan kedekatan antar tetangga. Dan ada satu hal lagi yang menurut saya yang perlu menjadi perhatian setiap pembangun bangsa, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama.

Tidak dapat dijadikan liberal, dan individualis

Saya menghargai Tan Malaka yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tetapi membenci mistis yang menurutnnya semua orang hanya perlu kelogisan. Tapi menurut saya mistis tidak dapat dihilangkan karena memang beginilah ciri dari Indonesia dengan berbagai latar belakang historisnya. Dan saat itu dihilangkan, masyarakat akan kehilangan makna, hanya mengandalkan logika, dimana logika itu terbatas. Seperti berbagai contoh fenomena di luar yang benar-benar sekuler, liberal, hanya mengandalkan logika, banyak kehilangan makna. Melimpah secara keadaan, tapi tetap tidak bisa mengisi kekosongan makna sehingga ada cost lagi yang diperlukan untuk mencapai makna setiap individu, entah mencari lewat filosofi atau agama.

Solusi dari konservatif

Kadang orang ingin yang baru, yang inovatif, ga sadar ada yang bisa dioptimalin Coba liat ini deh, visi misi dari kemenag, peraturannya

Tinggal bangun sistem informasi masjid Latih manajemen masjid biar bisa manfaatin potensi daerahnya, Bangun ekosistem pendidikan praktis yang ngelibatin masyarakat daerah sana Mahasiswa yang ada background IT jadi pengurus, belajar ngoding, buat website yang simple2, bangun remaja masjid, bapak2 ibu2 juga boleh ikut belajar, darisana nanti muncul banyak aktivitas lain, bisa ditrigger sama reward

Masalah yg sekarang: Masjid2 belum terintegrasi, ada yang ngitung laporang keuangan masih pake manual. Bayangin kalo semuanya diotomatisasi, waktunya bisa dipakai ke yang lain, para manajemen masjid bisa planning proker2 lain, manfaatin sumber daya manusia daerah sana, akselerasi smart city.

Boleh sih ngebangun ekosistem kaya gitu yang terisolasi. Tapi gimana caranya mastiin yang kaya gitu ga bikin kesenjangan? Kesenjangan informasi, kesenjangan sosial, dll. Kalo ada kesenjangan bakal ada kecemburuan. Ada golongan2 yang terpinggirkan, krisis eksistensi, makan semua yang bisa bikin jadi ngerasa “penuh”, khayalan2 yg menuju ke u know la. Salah satunya terorisme. Ada cost di masa depan yang harus dibayar nanti kalo golongan sejenis itu terus tumbuh. Dan itu gara2 kesenjangan Gimana caranya pembangungan itu mastiin bahwa kesenjangan dikurangi? Bukan ngebangun sesuatu yang sifatnya prestis, gengsi. Tapi ngebangun Fondasi, fundamental, dasar. Ngerangkul semua.

Iklim yang dewasa, yang bebas dari para diktator, kata Bung Hatta, Resisten terhadap banyak gangguan, universal

Bayangin orang2 MBA pada jadi marbot masjid, Alokasi resourcenya optimal, efektif, efisien. Ga akan ada kasus dana masjid ngendap berpuluh juta cuman dijadiin biaya operasional, atau dikorupsi kaya begini, semuanya transparan, resource terus diputer buat nyejahterain masyarakat daerah masjid, scr spiritual, intelektual, juga badan. Masjid yang dah maju bisa komunikasi sama masjid lain. Basis reasoning, ga ada yang baperan, beda pendapat diomongin. Orang salafi sama orang JIL diskusi, moderatornya Coki Muslim, orang Syiah, Mutazilah, Sufi, LDII, Cak Nun, Salim A Fillah semuanya diskusi bikin podcast. Beda pendapat santuy, yang penting teknologi di setiap masjid berkembang, bikin software, analisis data, manajemen, diskusi, dll. Ada yang mencurigakan masyarakat tau semuanya, kenal sama tetangganya Kajian ilmiah, Literasi keuangan, literasi data, dll. Dari sana inovasi bisa tumbuh, ga perlu bangun komplek fisik yg makan triliunan

Simple. Bangun sistem informasi masjid, semuanya terstandarisasi. Pelatihan manajemen masjid. Manfaatin semua potensi SDM SDA deket setiap masjid. Katalisnya = reward. Kalo ga perlu reward bisa lebih bagus, cuman cukup didoktrin, “Woy, we’re taking so much for granted.” Dan semuanya berinovasi, sesuai yang disukain.