Apa salahnya Kematian
Siapapun memilih kematian satwa
Yang di luar jangkauannya
Mengapa tetap perlu dijaga
Tak apa yang mati budaya
Hanya diperlukan perpisahan indah
Seperti perpisahan dengan hikkikomori
Yang mati di apartemen sendiri
Tak apa yang mati satwa
Toh ayam dan sapi masih tetap ada
Sixpack dan otot punggung tetap kekar
Pencipta pun tetap dapat dibakar
Tak apa yang mati kita
Mobil terbang tetap perlu mengudara
Rakyat jelata hanya perlu lihat saja
Bagaimana ilmuwan membunuh para dewa
Tapi bajingan dengan cinta
Setiap hari tagar twitter dipakai bercinta
Bandar grup kumpulkan foto meki basi
Pegang kemaluan cari korban di ometv
Kapan matinya budaya
Kapan matinya satwa
Kapan matinya kita
Yang penting tetap dapat bercinta
Hidup tanpa cinta
Bagai taman tak berbunga
Hidup dengan cinta
Bagai binatang penjelma dewa
Lihat konflik sedikit anunya bangun
Sudah banyak tragedi tapi tetap orgasme
Ingin melihat yang lebih lagi katanya
Dengan cinta semuanya itu puting laki-laki
Tak ada rasa, tak ada guna
Tapi memang itulah cinta
Membuat sebagian ingin menyetubuhi lubang pohon
Tak merugikan orang lain katanya
Tapi tolol juga
Kesenjangan tetap akan ada
Betapa asiknya menunggangi pohon
Tidak semuanya dapat mengerti
Betapa transendennya diskriminasi perbedaan
Betapa dangkalnya toleransi
Toleransi itu kata mati
Kau tau geisha dan para penari
Yang gerakannya dapat dibeli
Tapi cintanya tak dapat dibeli
Toleransi itu seperti geisha
Dapat dengan mudah dikustomisasi
Karena mereka memang makhluk mati
Cinta katanya membuatnya hidup
Tapi buat apa hidup
Apabila hanya memperjuangkan toleransi
Setidaknya biarkanlah para homo itu mati
Jawabannya bukan ada pada mobil listrik
Pertanyaannya bukan bagimana kiamat terjadi
Pendukungnya bukan sang ahli toleransi
Tapi mengapa cinta tak mati-mati
Padahal dengan matinya cinta
Pencipta dapat dipunahkan yang dicipta
Aku tanya sekali lagi
Siapa yang lebih butuh
Pengemis atau Pemberi?
Siapa yang lebih dulu akan mati
Budaya, Satwa, Manusia, atau Cinta?