Le nanya ke bapak,
“Lulus 3.5 tahun tapi ga terlalu punya pengalaman gpp? Atau mending lulus biasa tapi cari pengalaman dulu.”
Tiba-tiba bapak cerita tentang orang spesialis sama generalis. Orang generalis kaya sistem informasi emang pengetahuannya luas, tapi kalo disuruh mendalami hal detail, utamanya detail produk atau service, biasanya belajarnya emang perlu lama, makanya kalo disuruh bersaing untuk hal kaya engineering, jarang manajemen milih orang generalis.
Bapak tiba-tiba cerita lagi tentang temennya yg katanya C-Level Telkom. Telkom itu dulu inovator di Indonesia, ga ada competitor sama sekali. Tapi zaman berkembang, makin susah ngeliat kebutuhan pasar…", terus cerita panjang lebar tentang teknis jaringan yang saya sama sekali ga ngerti.
Terus cerita lagi, “Kalo menurut bapak, kasus yang jelek itu contohnya PTDI. Ada produk yang didesain buat kerjasama dengan TNI AU, tapi desainnya itu ga sampai selesai. Sampe sekarang juga belum selesai padahal udah lebih dari 20 tahunan. Akhirnya pas mau dilanjutin kesulitan karena sparepartnya sekarang udah mahal jarang ada yang produksi.”
Tiba-tiba dilanjutin, “Anak sekarang beda sama bapak jaman dulu. Kalo bapak masih ngerasain desain, ngitung manual pake kalkulator, tanpa komputer. Anak sekarang gabisa kalo ga ada software. Dan itu yang bikin jadi manajemen bingung. Mereka butuh talenta yang bisa analisis problem secara mendasar, tapi anak-anak baru pada gak bisa. Padahal itu masalah sepele dan gampang menurut bapak, tapi anak-anak baru pada gak bisa. Akhirnya keputusan manajemen malah beli data mahal-mahal.”
Terus tiba-tiba ngomongin macem2 lg kayak aeronautika, jaringan, elektro, temannya yg pinter tapi gara-gara kurang komunikasi jadi kesandung, klarifikasi bahwa yg jadi petinggi itu emng bener yg ga kumulot tapi punya banyak temen, dll.
Kadang saya mikir gap nya tuh bener-bener kerasa, komunikasi itu hal paling aneh dan nyebelin. Sulit mengerti dan sulit dimengerti. Gpp keliatan gila karena orang ga akan peduli.
Kamu ngeliat orang gila sekali di jalan. Oh OK, itu orang gila. Dan kamu ga akan kepikiran sampe rumah mengenai detail-detail tentang orang gila tadi.
Semuanya punya zone-nya, kaya di film soul, dan entahlah apa yang menyebabkannya, yang ngebuat kita peduli terhadap hal tertentu. Dan ini trigger yang bikin saya coba nulis, entah tujuannya apa, mirip kaya tulisan ini,
Kiai Hologram, Seorang teman menuntut. “Jadi, kenapa sampean menulis tiap hari kalau hasilnya tidak dipahami?” Bagaimana aku menjawabnya? Di antara ribuan titik hujan deras yang sebagiannya mengguyurmu, titik air mana yang kau perlukan? Titik air mana yang membawa hidayah Tuhan kepadamu? Titik hujan mana yang harus menyentuhmu sehingga rezeki itu nanti datang menghampirimu? Kalau engkau bersama orang sekantor berdoa memohon agar perusahaan tidak bangkit karena regulasi-regulasi yang tak menentu, ucapan “Aamiiin” siapa yang Tuhan kabulkan? “Aamiiin”-nya direktur, satpam, tukang sapu, atau siapa? Kalau engkau menabur benih, ada benih yang langsung bersemi. Ada benih lain menunggu besok pagi untuk menggeliat. Ada yang beberapa hari, atau beberapa minggu, baru memuai. Bahkan, ada pohon yang menunggu puluhan tahun sebelum orang mengetahui makna dan manfaatnya. - Hlm. 135
Saya sebenarnya ingin cerita ke bapak juga tentang background cerita saya, cuman bapak tiba-tiba ditelpon dan keliatan sibuk sehingga saya tidak jadi cerita. Semangat pak, fokus cari nafkah buat anakmu yang tidak berguna ini saja ya 😊.
Dari dulu saya mencari sebenarnya potensi saya ini apa. Karena ada pepatah mengatakan, “The saddest thing in life is wasted talent…” A good book is a good friend, dan karena sedari dulu saya merasa kurang punya “a good friend”, di SMA saya ingin coba jadi kutu buku. Baru baca 1 buku saja saya sudah merasa pintar, dan buku yang benar-benar membuat saya berpikir benar-benar itu 1984. The alchemist bisa membuat saya menjadi pemimpi, tapi 1984 benar-benar membuat saya memutar otak seminggu penuh menanyakan eksistensi.
Mungkin dari situ hidayah saya dicabut, mulai meragukan banyak hal, dan anda tau sendiri kemana akhirnya. Tapi anehnya saya tidak fokus disitu saja, karena pada niatnya dari awal saya hanya ingin mencari potensi. Saya coba ikut rohis, dan yang paling konyol adalah saya dicalonkan jadi ketua rohis. Saya ga tau dapet kepedean darimana, tapi tiba-tiba saja saya merasa bahwa semua hal itu bisa dipelajari. Dari mulai ilmu konyol seperti ilmu hubungan dengan manusia dan ilmu yang pasti seperti data dan angka-angka.
Dan lebih konyolnya lagi, teman SMP saya tiba-tiba jadi ketua rohis kota bandung dan saya malah disuruh jadi kadiv bidang media, padahal saya bodoh sekali dalam hal desain mendesain. Kata teman saya, “Ah kan ga perlu jago, tinggal suruh orang yang jago aja”. Saya terlalu optimis bahwa anggota saya semuanya jago desain dan bisa disuruh-suruh. Tapi di sini kesalahan terbesar saya yang baru saya pelajari, bahwa orang itu bergerak hanya apabila ia merasa perlu bergerak. Masalah saya tentang ragu sebenarnya belum beres, dan ikut kegiatan seperti begituan sebenarnya bentuk usaha untuk mendapat hidayah lagi. Tapi jenaka sekali hubungan saya dengan si hidayah itu.
Dan sampai kapanpun mungkin saya tidak akan dapat mengobati ragu ini, terlalu banyak data yang masuk ke pemprosesan saya sehingga outputnya pun ya pasti begini-begini lagi, ragu lagi, ragu lagi. Tapi saya tidak menyerah, saya coba masukkan semuanya, tidak peduli baik buruknya. Terpolarisasi oleh algoritma dari histori saya, saya tidak peduli, pokoknya semuanya masukkan, hapus histori, masukkan lagi yang lain. Hingga saya coba merangkai semuanya, dan memang benar banyak masalahnya itu terletak di pendidikan. Saya hanya ingin menjawab ragu, tapi yang datang ini malah masalah lain. Tiba-tiba ada agama, politik, budaya, filsafat, semuanya masuk ke pemrosesan saya.
Saya awalnya ingin masuk filsafat untuk memenuhi nafsu saya, tapi baca 2 buku eksistensialis secara berurutan saja sudah membuat saya eneg. Dan dari data lain juga saya tau untuk menjawab ragu saya perlu makan. Maka carilah dulu yang bisa membuat saya makan. Makanya saya tiba-tiba masuk sistem informasi, katanya kerjanya enak, liat komputer, nyuruh orang-orang, tinggal gambar-gambar. Dan kebetulan ada dokumenter menarik juga seperti Inside Job sehingga saya jadi merasa saya ini tidak rakus-rakus amat, saya ini rakus dan nafsu, tapi hanya untuk menjawab ragu saja. Hanya ragu, tapi tidak dapat-dapat jawabannya, apa mungkin nafsu saya ini ternyata lebih besar dari para maling di wall street sana?
Waktu itu juga saya tiba-tiba curhat ke temen fakultas saya. Saya sebenarnya ga tau mau jadi apa ke SI ini, sebenarnya saya ingin jadi marbot masjid. Itu lawakan karena teman saya ini penghafal quran, jadi saya cari yang cocok saja. Tidak lama setelah saya curhat begitu tiba-tiba banyak muncul data aneh ke pemprosesan saya. Tiba-tiba ada tentang kemajuan China, blockchain, social credit system, islamic finance, ada juga si Dajjal Cak Nun, Fahruddin Faiz, Bo Burnham, dan dajjal-dajjal lainnya.
Dari situ saya rindu filsafat lagi, dan mengobati rindu itu ya memang harusnya sedikit saja olesannya. Kalo terlalu banyak bakal eneg. Maka rindu jawaban ragu itu juga kan saya lakukan hanya secukupnya. Walaupun belum bertemu, ya mau bagaimana lagi saya tetap rindu. Tiba-tiba perkataan saya ke teman saya itu seperti doa, saya jadi seperti benar-benar perlu jadi marbot masjid. Tiba-tiba ada bayangan yang perlu saya lakukan. Tapi ya begitu buruknya kalo datanya hanya sedikit, “If the only tool you have is a hammer, you will start treating all your problems like a nail.”
Karena kebetulan yang menjengkelkan saya waktu itu adalah masjid, dengan gerakan formalitasnya yang berulang-ulang, tanpa kreativitas, seperti budak atau orang mati, maka yang saya proses itu ya masjid. Dan karena social credit system, entahlah risikonya apa, saya menganggap bahwa itu yang harus teliti untuk dapat menjawab ragu.
Kekuatan data itu sering diremehkan, dan di overestimated kan. Overestimate tentang suatu dampak itu mending, mubazir itu tidak akan mungkin dalam hal yang ilusif. Maka lebih baik overestimate daripada underestimate dalam hal ini.
Saya contohkan underestimate yang mungkin banyak dirasakan para bapak dan ibu sekalian yang merasa gagal dalam mendidik anaknya. Guru geografi saya dulu sering mengeluh anaknya pas kecil itu lucu, tapi pas udah gede kenapa jadi jahat begini.
Jawabannya jelas bahwa Pak Geo ini kurang data. Data tentang lingkungan anaknya, lingkungan belajar, lingkungan bermain, lingkungan teknologi, mungkin ia tidak tau potensi dan risiko sebenarnya dari suatu gadget atau teman mainnya atau guru belajarnya, yang mungkin bisa mempengaruhi anaknya menjadi seorang yang tidak diinginkan oleh Pak Geo. Apabila Pak Geo overestimate tentang data, maka Pak Geo akan punya data, dan mungkin kejadian seperti itu bisa dihindari, karena kemungkinan besar Pak Geo memiliki rencana untuk antisipasi dari pola dari data tadi.
Itulah yang tiba-tiba ingin saya perjuangkan, pembukaan data masjid. Sebenarnya bukan masjid saja, bisa RT RW, pemerintah pusat, tapi karena sangat benci dengan masjid pasif, maka saya contohkan masjid. Banyak data yang bisa dibuka ke para stakeholder alias rakyat. Sehingga rakyat tau kondisi sebenarnya itu seperti apa. Apabila tau, setidaknya mereka bisa mempunyai rencana, atau memberi saran terkait rencana, atau protes mengapa datanya begitu.
Lalu social credit system dimananya? Lihat bagaimana china menggunakan AI untuk social credit system, dan banyak dipandang sebagai pelanggaran hak asasi privasi. Tapi toh saya sebagai umat muslim harus saling mengenal dan menyembunyikan aib, sehingga buat apa kebutuhan privasi itu? Tentang etika teknologi, etika itu seperti hukum yang memperlambat manusia, ia seperti rem yang entahlah gunanya apa apabila jalannya masih lurus dan sepi. Tapi di jalan yang sepi ini kecepatannya masih lambat, jadi untuk apa sebenarnya rem itu?
Dari pembukaan data itu bisa macam-macam sebenarnya, dan yang utama sebenarnya keefisienan. Semuanya perlu efisien, karena manusia belum tau kapan sebenarnya energi yang kita pakai sehari-hari itu akan habis hingga langka. Maka perlu seefektif dan seefisien mungkin dalam pendidikan, dalam mencari talenta, dalam mencegah pemanasan global, dalam mencegah krisis ekonomi di masa depan, krisis kepercayaan, maka idealnya seperti itu nilai-nilai dari social credit system itu.
Ada yang namanya pyramid of needs, dan dengan dibukanya data itu, satu data untuk dunia, semuanya akan mencapai piramid paling tinggi secara bertahap. Tidak ada lagi banyak platform pencari kerja, karena data sudah dicaptured dari sumbernya sehingga valid, tidak perlu lagi perekrutan karyawan karena semuanya telah bisa tau potensi dirinya, dan bekerja sesuai kapasitas dan potensinya. Maka setidaknya ekonomi dapat menjadi stabil. Tidak ada kesenjangan sosial karena telah ada mufakat bahwa bahwa orang paling kaya hanya boleh kaya x% dari orang termiskin.
Semuanya akan terotomatisasi dan tidak mungkin sistem ekonomi yang usang saat ini terus dipakai di masa depan. Masyarakat secara bergiliran bekerja dan kekayaan didistribusikan karena nantinya akan efisien secara sumber daya akibat proses manajemen yang baik di awal dari pembangungan sistem yang terpadu seperti social credit system itu. Sistem ekonomi selanjutnya berbasis donasi dan tidak mungkin orang kaya menjadi kikir karena telah ditanamkan diotaknya apabila ia kikir, otaknya akan meledak dan kekayaannya akan didistribusikan ke anak yatim di luar planet bumi. Tidak ada yang namanya negara, semua negara bangkrut karena korupsi dan kegiatan open source berbasis jaringan lebih disukai masyarakat terdesentralisasi yang bertanggung jawab. Tidak ada inflasi harga rumah karena semua manusia kembali menjadi nomaden sehingga rumah menjadi tidak dibutuhkan.
Dan itu yang benar-benar saya ingin lakukan, terlalu lambat dunia ini, saya ingin melihat jawaban saya, sebelum mati, bukankah nafsu ini tidak rakus sama sekali? Makanya saya coba masukkan apa-apa yang bisa dimasukkan ke otak saya karena saya sangat butuh jawaban itu. Dan karena ada bisikkan dari data bahwa saya harus realistis, maka saya perlu juga belajar apa yang kira-kira saya sukai dan bisa menjadi sumber makanan untuk saya saat ini. Saya coba apalah yang kira-kira berhubungan dengan SI ini, data science bisa memprediksi terlihat keren, tapi kurang cocok dengan otak bodoh saya yang sudah disusupi banyak sastra, maka mungkin saya jadi tukang saja, ingin coba jadi Linux Torvalds yang bisa fokus dan bilang “Fuck Nvidia!” atau “Bla bla bla, now show me the code!”. Linux sebenarnya asik, tapi kernelnya itu tidak masuk logika saya, saya coba devops dan berbagai macam solution architecture juga dari Programmer Zaman Now, atau banyak blog dan video data science yang cukup asik hingga cukup lupa pada rindu akan jawaban dari ragu.
Tapi memang itu seharusnya yang saya lakukan sekarang, melupakan sedikit tentang kerinduan tadi, hingga rindunya nanti akan sangat-sangat nikmat, coba realistis, apalah, mungkin coba daftar magang di semester 7 dan skripsinya semester 8 saja dengan Komputer & Masyarakat. Tapi mungkin saya tidak diterima sehingga perlu lulus pada semester 7 dengan tanpa pengalaman banyak lalu coba cari kerja yang tidak mudah tentunya karena dilihat dari CV saya dengan IPK tinggi dan jarang berorganisasi yang terlihat seperti anak individualis god complex yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain dengan tingkat skeptis dan depresi tinggi.
Atau saya tidak diterima dimanapun karena mereka tau tujuan saya sebenarnya ikut begituan itu agar saya tidak kelaparan sehingga dapat mencari jawaban dari masalah terbesar saya. Mereka tau tidak dijadikan prioritas. Memangnya anda pernah dijadikan prioritas? Oleh siapa? Saya tak peduli dengan saya, jangan tanya saya, saya hanya ingin menjawab ragu. Saya ingin semuanya cepat-cepat naik ke piramida kebutuhan terbesar, semuanya tercukupi dan terpenuhi, hingga semuanya bosan, kemudian mengalami perasaan kebutuhan terbesar menurut saya, kebutuhan filsafat metafisik fasfifsfusveswos. Apa itu manusia? Dan mengapa anda perlu bahagia apabila ia semudah itu didapat, hanya dengan copy paste suatu script dan execute di memory anda, anda dapat bahagia. Pertanyaannya, mengapa anda perlu bahagia? Di akhir tulisan ini akhirnya saya kembali mengingat si ragu. Tidak terlalu nikmat ternyata kerinduan ini, tapi mungkin, jawaban untuk si ragu tetap perlu dicari. Jadi ini latar belakang saya nanya ke bapak, dari pertanyaan di baris paling atas tadi, kalo mau baca, dan mengenal anaknya, PAK!
Quotes dari bapak saya: “Perusahaan atau individu harus kreatif. Kalo stuck, sabar dan tekun aja ingat tujuan dari awal apa.”