“[in the struggle for new solutions] new and deeper problems have been created. Our knowledge is now wider and more profound than that of the physicist of the nineteenth century, but so our doubts and difficulties.”
Backlog itu entahlah darimana asalanya, apakah itu dari Agile, Scrum, atau framework atau apalah itu namanya. Saya benar-benar mendapatkan manfaatnya dan tiba-tiba seperti ada yang *trriiiing dari atas kepala semenjak magang pertama.
Dari banyaknya anggota, yang diassigned paling banyak adalah anggota dengan nama “Unassigned”. Begitu tidak bertanggung jawabnya si Unassigned itu, dia diberikan tiket paling banyak walaupun semuanya tiketnya masih berada dalam fase “TO DO”.
Mengapa demikian? Karena orang-orang begitu percaya dengan si Unassined itu. Mungkin setiap anggota dari tim merasa bahwa dialah yang paling jago sehingga diberikan tanggung jawab sebanyak itu, walaupun saat ini lebih banyak tiketnya yang berada dalam fase “TO DO” yang berarti belum dikerjakan.
Poin utama yang ingin saya sampaikan hanyalah itu.
Bahwa tidak apa-apa banyak tiket yang belum dikerjakan. Mendiamkan tiket itu hingga busuk pun tidak ada salahnya. Karena telah ada yang namanya properti prioritas. Tiket mana yang berdampak paling besar terhadap kumpulan orang, maka itulah yang tiket yang sebaiknya dikerjakan duluan.
Tidak apa-apa mengassigned tiket terus kepada si “Unassigned” itu. Dalam fase “TO DO” selamanya pun tidak apa-apa. Itu yang saya pelajari. Hal itu sebagai bentuk pengakuan. Dan memang bajingan masalah itu, ia benar-benar haus akan pengakuan. Maka sebagai manusia yang baik, kita perlu penuhi kebutuhan dari si masalah itu, yaitu diakui.
Dengan kita mendefinisikan masalah, si masalah itu mungkin akan senang karena ia akhirnya dianggap. Meski belum ditentukan prioritasnya, tapi setidaknya ia tidak lagi dilupakan, setidaknya ia diakui keberadaannya. Dan begitulah cara kita manusia menghargai setiap makhluk dari Nya.
Bahwa memang banyak sekali prioritas, dan tidak semuanya punya waktu dan minat yang sama untuk mengambil tiket itu, si masalah yang haus akan pengakuan tadi. Tapi bahkan si masalah itu selalu memberikan petunjuk kepada kita, bahwa semuanya ada cakupan, ada scope nya. Jangan sampai anda merasa masalah anda terlalu kecil. Kita sebagai manusia ini harus “meng-enakan” si masalah. You rip what you sow. Dan mengakui masalah ini merupakan bentuk ikhtiar kita dalam memuliakan ciptaan-Nya.
Maka catatlah, definisikan si narsisis masalah itu. Saat mungkin ada yang pening di kepala, terkait sakit yang fisik dan di luar fisik. Tapi jangan lupa sebutkan juga ruang lingkupnya. Tenggat waktu kadang kita tidak bisa menilai, tapi setidaknya, “apa” nya itu dan ruang lingkup nya itu biasanya kita bisa jelaskan. Dan yang ruang lingkupnya ternyata didapati adalah masalah diri sendiri, maka usahakan secepatnya untuk diselesaikan, karena bisa jadi hanya kita yang tau tiket itu.
Dan barangkali ada masalah yang anda tahu ruang lingkupnya adalah organisasi, keluarga, negara, planet, maka daftarkan saja dulu. Anda boleh saja memamerkannya kepada orang-orang. Karena seperti yang saya sebutkan tadi, bahwa biasanya orang-orang juga memprioritaskan tiketnya yang berhubungan dengannya dulu. Tapi bahkan ada yang tidak menyelesaikan tiket yang ruang lingkupnya adalah dirinya, melainkan ruang lingkupnya adalah dunia bahkan meta dunia. Itu tidak apa-apa, toh itu pilihan masing-masing.
Banyak yang menyalahkan berita, membuat semua masalah adalah masalah kita. Tapi bodohnya kita, bahwa itu sebenarnya merupakan masalah yang bisa didaftarkan tiketnya, dan entah anda atau orang lain yang akan menyelesaikannnya, tapi setidaknya pada mulanya daftarkan dulu tiket itu.
Sekali lagi saya bilang, lihat contoh tiket di bisnis yang kesulitan itu. Si tiket itu tidak apa-apa menunggu. Si tiket masalah itu tidak seperti kita manusia yang tidak sabaran, tapi ia seperti mutiara yang menunggu untuk dijemput. Bahwa saya mungkin salah mengatai mereka sebagai narsisis, tapi para bajingan itu tau value dari dirinya, sehingga sabar menunggu untuk dijemput, dari yang benar-benar ternilai.
Maka itu yang saya pelajari dari Jira, pada tiket-tiket yang diberikan ke si Unassigned itu, yang sangat lama berada dalam fase “TO DO”, menunggu ia yang benar-benar tau nilainya.
Saya pun sekarang tidak ragu lagi untuk berteriak. Membuat tiket dari apa yang saya lihat. Prioritasnya seharusnya tinggi, karena saya merasa masalah di ruang lingkup saya telah terkerjakan, dan masalah-masalah itu berada di lebih atas dari ruang lingkup saya, sehingga sebenarnya saya bisa saja menggesernya ke fase “IN PROGRESS”. Tapi si malas dalam saya ini lebih dominan dibanding yang lainnya di diri saya, sehingga saya merasa bahwa perlu orang lain yang mengerjakannya.
Namun, setidaknya tetap saya akan daftarkan tiket dari masalah-masalah itu tadi. Karena saya tau, bahwa orang-orang pun jarang ada yang peduli dan sadar akan adanya tiket itu. Tapi toh setidaknya sudah saya daftarkan, sekalipun itu tidak sesuai dengan potensi sebenarnya dari masalah itu, setidaknya saya sudah ikhtiar bermanfaat untuk membuat masalah itu diakui.
Dengan demikian, saya akan coba daftarkan tiket-tiket itu. Saat anda tidak tau harus mengambil tiket yang mana, anda boleh melirik, bahkan menggeser-geser tiket yang sudah saya daftarkan pada si “Unassigned” itu. Anda mungkin kasihan dengan betapa beratnya tanggung jawab dia sehingga ingin membantu. Tapi saya sendiri malas membantu si “Unassigned” itu.
Jadi tolong jangan siksa saya, saya sudah berusaha sebisa saya, untuk mengakui ia yang ingin diakui. Agar yang ingin diakui itu mencapai potensi terbaiknya. Entahlah potensi terbaiknya itu untuk apa. Jira itu, lagian berbayar dan tidak ada gunanya untuk yang miskin seperti saya. Tapi tolong temani si tiket itu. Mungkin prioritasnya kecil, tapi tidak ada sesuatu sekecil apapun itu hingga ia tidak masuk dalam perhitungan-Nya. Nyan Nyan Nyan Miaauuuw.
“The agile movement is in some ways a bit like a teenager: very self-conscious, checking constantly its appearance in a mirror, accepting few criticisms, only interested in being with its peers, rejecting en bloc all wisdom from the past, just because it is from the past, adopting fads and new jargon, at times cocky and arrogant. But I have no doubts that it will mature further, become more open to the outside world, more reflective, and therefore, more effective.”
— Philippe Kruchten