https://nasional.tempo.co/read/1643276/mahasiswa-ugm-terjatuh-dari-lantai-11-polisi-sebut-murni-bunuh-diri

https://www.detik.com/jateng/jogja/d-6337752/mahasiswa-ugm-jatuh-dari-lantai-11-hotel-polisi-pastikan-bunuh-diri

Bunuh diri itu hak individu. Orang sudah lelah dalam hidupnya mana bisa dipaksa-paksa untuk terus berfungsi. Terkadang banyak orang-orang mengkerdilkan orang-orang seperti ini, kurang bersyukurlah, referensinya kuranglah, dan lain-lain. Tidak bisakah kita apresiasi bahwa setiap yang mirip dengannya sudah berusaha dengan sebaik-baik nya.

Bunuh diri itu tidak seperti keluar dari aplikasi, dimana selalu ada konfirmasi akan dilanjutkan atau tidak, diberikan pertanyaan sebelum ke aksi selanjutnya, “apakah anda yakin ingin keluar?”. Berbagai macam disiplin ilmu pun sulit melakukan tindakan dalam hal ini. Karena masalahnya secara statistik tidak akan sampai CI99.

Masalah utamanya adalah gejala ini dapat menyebar, dimana media dan internet secara cepat dapat memperbesar jangkauannya. Penularan inilah yang dapat membahayakan. Apabila menyebarnya ke orang tolol pembuat kerusakan mungkin anda senang. Masalahnya gejala ini lebih mudah menyerang pada siapa saja yang rentan dan biasanya orang tolol itu tidak termasuk dalam kategori rentan.

Apabila ingin cocoklogi sedikit anda bisa mengaitkan ini dengan mass psychosis. Ini versi singkatnya apabila anda ingin sedikit tahu.

Sebenarnya saya menulis ini salah satunya akibat webtooon Dr. Frost oleh JongBeom Lee.

Apabila ingin memutus rantai gejala ini, sebenarnya ada berbagai alternatif yang dapat dilakukan.

Saya pun ingin menuliskan berbagai alternatifnya, tetapi sangat membosankan karena semuanya sudah tau akan hal itu. Oleh karenanya, saya akan pilih alternatif yang paling tolol.

Dari sudut pandang fatalis, adanya berbagai orang seperti itu sudah takdir alam semesta.

Baik bagi pemilik gejala itu apa? Kedamaian. Maka langkah paling praktis untuk memberikannya kedamaian adalah membiarkannya. Memberikan hak ke setiap individu untuk bunuh diri ~ euthanasia. Masalah selanjutnya yang dapat timbul adalah apabila banyak yang tahu akan hal itu, gejala tersebut dapat dengan mudah menyebar.

Maka siapapun yang punya kapital perlu memikirkan bagaimana caranya agar mencapai cita-cita utilitarianisme. Salah satu inovasi ini ada di Swiss.

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-59603971

Langkahnya sangat mudah

  1. Memperbolehkan setiap individu untuk mengakhiri hidupnya dengan syarat;
  2. Tidak membuat kegaduhan publik;
  3. Hanya keluarga dan teman terdekat serta tim teknis operasional dari proses pengakhiran tersebut yang tahu dan sadar akan hal tersebut;
  4. Pemastian tidak menyebarnya hal tersebut untuk menghindari penularan gejala tersebut ke masyarakat luas.

Langkah paling sulit dilakukan mungkin terletak pada nomor 4. Namun, semuanya tau ini hanyalah prosedural dan tindakan represif. Langkah preventif itu sudah banyak dibahas di berbagai kajian ilmiah sehingga sangat membosankan untuk dibahas.

Saya harap saya tidak pernah mengkerdilkan orang yang memiliki gejala tersebut. Karena gejala pada tiap orang berbeda bergantung banyak faktor yang melatarbelakanginya yang sangat sulit untuk dapat diidentifikasi satu persatu.

Satu hal yang membuat saya tahan terhadap berbagai gejala tersebut adalah https://www.imdb.com/title/tt10810430/

Dan mungkin banyak bias yang tidak dapat saya perhatikan, seperti pelingdung dari tangan-tangan tak terlihat yang mungkin adalah faktor paling berpengaruh untuk membuat saya tahan terhadap berbagai gejala tersebut.

Oleh karena itu, saya tidak pernah menghakimi dan memaksa bahwa semua orang perlu hidup untuk dirinya sendiri atau orang lain. Karena terdapat berbagai faktor yang tidak dapat diprediksi. Layaknya infeksi yang membuat dokter perlu melakukan amputasi. Maka saat ada penderitaan, sedangkan yang mengalami hal itu sudah melakukan berbagai cara tapi tetap tidak dapat menghentikan penderitaan itu, maka langkah pengakhiran penderitaan itu adalah hal paling rasional yang dapat dilakukan.

Innalillahi wainnailahi rojiun.

Itulah yang perlu selalu diingat. Bahwa semuanya akan pergi dan kembali. Maka mati adalah suatu kepastian. Namun kontradiksi kita menginginkan semuanya tetap hidup. Maka berikanlah perpisahan dan dokumentasi terbaik itu pada ia yang terlihat mati, sehingga ia tetap dapat hidup dalam memori.

Maka dari itu, bagi saya Cak Nun itu pengecut. Sudah tau perlu melakukan apa, hal-hal deterministik dan mekanistik yang dapat mengurangi penderitaan siapapun yang menderita, tapi ia tetap tidak pernah mengamputasinya. Karena ia lahir dari itu, sehingga ia tidak pernah berani memutuskan hal itu dan memberikan salam perpisahan dengan banyak darinya. Bisnis, teknologi, manusia, semuanya akan mati, termasuk budaya.

Terus mempertahankan budaya yang ia anggap otentik dan memberikan nafas bagi kehidupan, padahal hal itu tidak lain hanyalah bentuk dari egoisme dan ketakutan bahwa dirinya akan mati seperti teman dekatnya yakni budaya. Energinya terus dilakukan untuk menjaga hal itu agar tidak mati, sedangkan di luar sana banyak yang menderita.

Atau mungkin memang saya yang salah dalam melihat hal ini, bahwa beliau mungkin sudah tau bahwa penderitaan itu abadi, maka setidaknya ia hanya berusaha mempertahankan budaya?