Bayangin, bertrilyun-trilyun APBD dipake bikin Mesjid di tengah sawah..
— :) (@Outstandjing) January 1, 2023
..bukannya dipake utk kepentingan semua orang seperti Angkutan Massal
Ya gak usah dibayangin, bisa diliat di bawah ini: https://t.co/I7uCMCX8ns
RK seharusnya berterima kasih atas banyaknya kritik yang diterima terkait Masjid Al Jabbar. Ada sebuah hadis yang mengatakan,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ Artinya: “Kiamat tidak akan terjadi hingga manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid,” (HR Abu Dawud)
Namun, mengapa keputusan tersebut langsung disetujui? Apa pertimbangannya dalam membangun hal itu? Mengapa prioritas diberikan pada pembangunan masjid daripada hal lain seperti transportasi publik yang masih buruk, tingkat SDM yang rendah, kemiskinan, atau infrastruktur publik yang lebih mendesak?
Sebagai seorang pemimpin, bukankah RK memiliki kewajiban untuk memeriksa setiap kebijakan dengan teliti dan hak untuk menolaknya?Apakah masjid di Bandung kurang? Bagaimana kita mengetahui apakah suatu masjid efektif atau tidak? Apa metrik atau ukuran kesuksesannya?
Contoh, perusahaan-perusahaan yang dunia-oriented umumnya berorientasi pada data dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Misalnya, dalam e-commerce, ada metrik seperti konversi yang digunakan untuk melacak pengguna: berapa persen pengguna yang mengunjungi aplikasi, berapa persen dari mereka yang mencari barang, dan berapa persen yang melakukan pembelian. Metode seperti ini memberikan gambaran yang jelas tentang kinerja bisnis. Begitu pula dengan masjid dan lembaga non-profit lainnya, pasti ada metrik yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan mereka. Salah satu metrik yang sederhana adalah ukuran keuangan dan pendapatan. Namun, jika tidak ingin terlihat terlalu materialistis, ada juga metrik non-keuangan yang dapat digunakan, seperti tingkat kepuasan jamaah terhadap masjid (dalam aspek spiritual, ekonomi, atau sosial), relevansi kegiatan yang diadakan oleh masjid, atau konten ceramah sehari-hari atau saat jumatan.
Sistem Masjid Kementerian Agama Indonesia (SIMAS KEMENAG) memiliki statistik mengenai masjid-masjid. Namun, memiliki statistik saja tanpa tindakan tidaklah berguna. Apa wawasan yang dapat diperoleh dari statistik tersebut?
Saya menantang para penceramah untuk memberikan umpan balik kepada jemaah setelah ceramah, menggunakan skala likert yang sederhana, seperti seberapa bermanfaat ceramahnya, apakah jemaah mendengarkan atau tidur, apakah ceramah tersebut relevan dengan zaman sekarang, dan apakah ada saran topik untuk ceramah selanjutnya?
Jika Nabi Muhammad hidup di zaman ini, ia mungkin akan mengikuti pendekatan berbasis data dalam memimpin organisasi, bisnis, dan sejenisnya. Pendekatan ini akan memudahkan pertanggungjawaban terhadap segala sesuatu, termasuk menggunakan alat seperti Balance Scorecard. Dengan pendekatan berbasis data, lebih mudah untuk mempertanggungjawabkan segala hal (meskipun tetap membutuhkan pembangunan infrastruktur IT dan sebagainya).
Dengan pendekatan yang lebih konkret dalam manajemen masjid, pengelolaan masjid tidak hanya menjadi tanggung jawab orang pinggiran yang dijadikan pilihan terakhir. Jika Indonesia memiliki banyak orang yang memiliki latar belakang administrasi bisnis, manajemen, dan IT yang bersedia menjadi marbot masjid, hal ini dapat membantu menekan terorisme dan meningkatkan keterampilan manusia (Akan dibahas lain waktu).
Jika RK hanya mengandalkan intuisi dan semangat tanpa memanfaatkan pendekatan berbasis data yang lebih dapat diandalkan, apakah tidak sulit untuk mempertanggungjawabkan keputusannya di akhirat nanti?
Saya mengusulkan kepada RK bahwa jika memberikan tanggapan, jangan hanya mengandalkan aspirasi masyarakat. Masyarakat atau manusia adalah makhluk emosional. Menurut saya, lebih baik mempertanggungjawabkannya dengan data dan pendekatan rasional. Bagaimana kita mengetahui apakah masyarakat benar? Bagaimana kita mengetahui apakah keputusan yang diambil berdasarkan aspirasi masyarakat benar?
Namun, pada akhirnya, masalah yang muncul adalah tentang prioritas. Prioritas tidak ada yang benar atau salah, tetapi lebih tentang aspek keadilan, manfaat yang lebih besar, dan etika. Inilah yang menjadi fokus para kritikus. Kritikus sebenarnya mengingatkan RK untuk meragukan keputusannya, apakah pengambilan keputusan tersebut sudah benar? Bagaimana cara memperbaiki proses pengambilan keputusan yang lebih efektif dan efisien untuk selanjutnya? Kritikus juga mengingatkan bahwa dengan pendekatan berbasis data, RK dapat mempertanggungjawabkan tindakannya kepada publik dan juga kepada Sang Pencipta.