Algo goblok! Aku dapet iklan liburan melulu. Sudah tau aku ini orang nasionalis chauvinist, atau namanya lainnya orang kerdil. Melihat para TKI dan TKW yang menyumbang devisa, adalah suatu ketololan apabila kau keluar hanya untuk bersenang-senang, kecuali kau bisa mengeruk dan mencuri dari mereka yang di luar. Ketika melihat daerahmu sendiri kacau balau dengan kabel-kabel sarang laba-laba, siapa itu penyusun sarang laba-laba? Ialah ia yang memperlambat dan meracunimu dengan gedung-gedung kotak, yang tiap hari memberikan pesan ‘daftar di situs kami, maka kamu akan jadi dewa petir’. Atau ia yang melirik pemudi berpotensi menari dan dapat dengan mudah didandani. Persetan dengan suara, yang laki-laki butuhkan hanya ilusi akan cinta dan dukungan terhadapnya. Kelompok perempuan itu, ia dipelopori mereka yang menjajah kakek buyutmu, dan siapa itu kakek buyutmu, sejarahnya saja tidak penting daripada karakter 2D kartun anak kecil yang menghiburmu dengan persona manipulatifnya. Empat orang wanita penghibur itu, apa bedanya dengan penari tiang lokal yang berusaha mencari penghidupan? Maka sebelum bayar pelacur di bawah umur yang tidak bisa bernyanyi itu, maka bayarlah di sekitarmu, yang kamu kafirkan karena kamu sibuk menyimpan semuanya di penadah kertas dengan harapan bunga dari akad wadiah atau mudharabah yang tidak seberapa itu, agar para pemalas itu bisa lebih kuasa menagih siapapun yang lemah dengan cara indahnya.

Tidak mau aku sedekah ke tukang gorengan, penjual seblak, pemasak jeroan, pemilik kafe teh kopi ultra manis yang rasanya tidak lebih enak daripada air bumi yang tidak mungkin didapatkan secara gratis di negara yang katanya kaya ini. Bukan mereka yang hina, tapi dagangannya yang justru menyakitkanku. Bukan salah mereka juga karena tidak ada kesempatan lain, melainkan kebodohan yang dibuat secara sistematis oleh para raksasa otomotif yang setiap hari menawarkan selebaran cara kredit mudah untuk mendapatkan ia yang berpolusi, dibekingi dengan temannya yang dapat insentif dari penjualannya sehingga mereka masa bodoh dengan angka-angka yang membuat kemacetan dan kotornya berbagai macam pabrik yang eksploitatif terhadap para ia yang polos dan jenaka.

Gerakan mahasiswa? Omong kosong macam apa itu. Sebegitu tuli dan butanya kalian mereka yang kalian teriakkan dan anjing-anjingkan, dan tetap saja kalian buang-buang energi untuk membuat spanduk kata-kata bermajas hiperbola dan berteriak dengan toa yang bahkan anak bayi sekalipun tidak mengerti artinya. Maka hanya ada satu jalan, bunuh! Bunuhlah para kutu buku yang tidak berani bersuara dan hanya bisa merencanakan strategi utopia di atas kertas. Dan cara membunuh terbaik adalah bukan dengan kemarahan atau teriakan, melainkan dengan kediaman.

Tidak mungkin yang satu melihat semuanya. Bahwa fitur dari pengetahuan adalah bertumbuh dan meluas, maka siapapun sekarang yang mengaku sebagai polymath, ia hanyalah arwah yang gentayangan, atau seperti rongkosan yang tidak ada gunanya lagi. Tidak ada waktu untuk terus membelah diri seperti sel, semuanya harus terspesialisasi, dan mati!

Dan setiapnya hanya bisa percaya dengan penuh skeptisisme, bahwa suatu elit gerakan mahasiswa hanya perlu mendata siapa saja yang bertanggung jawab di bidangnya dan spesialisasinya, karena aksi strategis itu tidak pernah cukup untuk melihat kebejatan mereka yang tidak terlihat. Hanya bisa beberapa orang yang fokus dan detail melihat ia yang memiliki background mirip dengannya, memantau kemana sajakah ia. Apakah keluarganya baik-baik saja, sebenar apakah kelakuan yang diberitakannya di kertas dan di media dengan apa yang dilihat detektif kecil tadi.

Dan apabila ada sedikit penyimpangan pada ibunya, yang bisa dilakukan hanyalah membunuhnya. Congkel kuku jari anak-anaknya, fitnah suaminya selingkuh dengan nenek-nenek petugas audit yang sudah dibayar asing. Ajak gerakan mahasiswa ke rumahnya untuk melempar telur dan tomat busuk setiap ke tembok dan kendaraan politiknya. Culik dan jual peliharaannya ke komunitas pemakan binatang peliharaan. Suap tetangganya bahwa keluarga si ibu ini tidak pernah membaur dan berkelakuan baik di kompleknya. Bunuh hakim dan jaksa yang membelanya, berikan pelacur dan saham platform judi untuk para preman dan polisi yang membelanya. Belajar dan raihlah IPK sempurna di kuliah. Hanya itu cara mahasiswa bisa berkontribusi pada hari buruh yang mulia ini.


In the quiet moments of contemplation, I find myself grappling with the passage of time and the inevitable changes it brings. The thought of growing old, of becoming frail and dependent, weighs heavily on my mind. I’ve made a solemn promise to care for my parents when they need me, and I intend to honor that commitment. But there’s a deep reluctance within me to burden those I love.

The idea of aging gracefully, of living a life worth remembering, has lost its luster. It feels like a hollow pursuit, a quest to enrich the owner of my eventual grave. In a world obsessed with meaning, I stand defiant, preferring the simplicity of existence over the complexities of legacy. San Diego may hold its allure, but my heart belongs to Lippo, where genuine connections hold more value than contrived significance.

When my time comes, I wish for no tears to be shed in my memory. Instead, I hope that my departure will ignite a spark of desire in others, much like the legendary Gold D. Roger’s death heralded a new era. If I must be remembered, let it be as a catalyst for change, a disruptor of norms, and a martyr to a cause greater than myself.

Alternatively, I may choose to slip away like a cat into the night, leaving no trace or remembrance behind. In the end, the manner of my departure matters less than the life I lead, for I am content with the fleeting beauty of existence, the ebb and flow of moments in time.

In these quiet musings, I find solace and clarity, a reminder that life is as enigmatic as it is precious, and our perceptions of it, ever-shifting.