wahai Dionysus, mengapa kau selalu bertingkah seperti bajingan, dengan sangat iseng membuka hansaplas orang-orang yang berisikan luka.

HAHAHA. orang itu saking takutnya melihat luka, mereka cepat-cepat menutup luka mereka dengan hansaplas. mereka tidak mengerti lukanya itu sudah kering atau belum, tapi karena saking takutnya mereka melihat luka, mereka cepat-cepat menggunakan hansaplas.

mereka tidak tau hansaplasnya itu higienis atau tidak, lukanya sudah kering atau belum. hanya orang tolol yang menggunakan hansaplas di saat lukanya masih basah.

tapi aku tau lukaku sudah kering dan hansaplasnya sudah higienis.

waduh kalo begitu berarti lukamu sudah sembuh, sini biar aku cabut.

tidaakk!!! sakittt sekalii dasar Dionysius bajingan. mati saja kamu dioonn.

katanya sudah kering, kok masih sakit. ngapain ditutup2in.

sini biar aku dekatkan matamu ke luka itu. lihat ini baik2 dasar pandir. kamu itu mirip seperti orang2 takut juga. berpikir bahwa dengan hansaplas kamu bisa sembuh dari luka. lihat luka itu dalam2, sudah muncul jamur dan bakteri yang lebih ganas seperti kanker. dan bila aku tidak perlihatkan padamu maka itu penyakit itu bisa menyebar dan membunuhmu. maka sekarang pilihannya kuserahkan padamu, kau ingin amputasi penyakitmu itu, atau kau ingin ia bersahabat denganmu dan membuat mu hidup damai selamanya?

bila kupotong kakiku satu, bagaimana aku bisa berdansa Dionysius? lebih baik mati daripada tidak bisa menari.

kau tidak potong kakimu sekarang pun kau tidak akan bisa menari, tapi dengan satu kaki, kamu bisa mencoba belajar bagaimana caranya menari. lihatlah pesta dansa membosankan itu, semuanya punya 2 kaki, tariannya sama semua. dan bila kau belajar, kau bisa mencipta suatu yang baru. satu kaki yang kuat, yang lincah, coba kau temukan dimana ia. dan aku yakin, kecacatan yang menari itu lebih indah dari apa surga yang dilagukan para pujangga.

sini aku tambahkan air garam, biar kamu tambah merasakan sakit dari lukanya, ayo rasakan pedihnya. persetan kau mau potong kakimu atau tidak, tapi sebelumnya kau harus jadi lebih sakit dulu. hanya rasa sakit yang bisa membuatmu merasa hidup.

tapi sebelumnya aku punya dua kaki, aku bisa merasakan hidup tanpa rasa sakit, tapi kau membuka luka masa laluku sekarang.

kau pikir para luka dan benalu juga tidak mau hidup? lihatlah, kau mau berdansa seperti para benalu itu? dansa mereka seperti dansanya orang mati, seperti dansanya pelacur di depan pria hidung belang yang niatnya tidak murni, dan pelacur itu hidup apabila ia berdansa karena ia ingin berdansa, bukan karena perlu memenuhi kebutuhan sehari2.

okelah kalau begitu, maka ku akan potong satu kakiku ini, 2 apabila perlu. aku kan mencoba berdansa dengan tangan, dan bila luka menggerogoti tanganku, maka aku berdansa dengan kepala, dan bila kepalaku juga kena, aku akan belajar berdansa dengan hati. sini berikan aku alkohol itu atau obat bius untuk meredakan rasa sakitnya.

tidakkk!!! jangan sampai mabuk, kau nantinya tidak akan bisa menikmati keindahan teriakan para luka itu. kau harus menjadi saksi teriakan mereka, bahwa mereka pun meninginginkan kehidupan. kesakitanmu tidak ada bandingannya dengan mereka yang nantinya akan mati.

bajingan kau ingin membuatku menderita, sini aku bunuh saja kau agar kau bisa hidup damai selamanya seperti kanker di kaki yang ku potong.

Apa? Kau tidak bisa diistirahatkan dengan damai? Bagaimana bisa Dionysius?


Scene: A Dark Forest Clearing. Dionysus and a Wounded Man Enter

Dionysus: Hark! Pray tell, Dionysus, why dost thou, with mischief in thine eyes, oft play the knave, and in such wantonness, dost thou unbind the bandages from wounds yet raw?

Wounded Man: HAHAHA! Behold, these mortals, in terror of their own flesh rent, do hasten to conceal their injuries with haste. They ken not if the wound be dry or bleeding still, yet such is their dread they bind it quickly.

Dionysus: These fools, they know not if their salve be pure, if their wound hath healed or festers still. Only a dolt would cover a sore while it yet seeps.

Wounded Man: Yet I know my wound hath dried, and my bandage is clean.

Dionysus: Verily, if thy wound is healed, let me then remove this dressing.

Wounded Man: Nay! The agony is fierce, thou knave! To the gallows with thee, Dionysus!

Dionysus: Thou claim’st it healed, yet thy cry belies thy words. Why dost thou conceal it still?

Wounded Man: Come closer and gaze upon this wound. Look well, thou knave. Thou art like those who fear, thinking a mere bandage brings healing. Look deep, and see how fungus and vile rot spread as cancer. If I did not reveal this to thee, the pestilence would consume thee whole. Now choose: amputate the infected part, or make peace with it, and live in constant strife.

Wounded Man: If I sever a leg, how shall I dance, Dionysus? ‘Tis better to die than lose the dance.

Dionysus: Even with both legs whole, thou canst not dance. Yet with one leg strong and true, thou mayst learn a new art. See the drear ball, all dancers the same. But thou, with but one nimble leg, shalt create anew. Seek that strength, that grace, and thou shalt find a beauty greater than the poets’ dreams.

Wounded Man: Come, add salt to my wounds, and let me feel the sting. Whether I cut off my limb or not, I must first endure more pain. Only through agony can one truly feel alive.

Wounded Man: Once, with two legs, I lived without pain. Now thou hast laid bare my past wounds.

Dionysus: Thinkest thou wounds and parasites seek not life? Wouldst thou dance as they do, a deathly waltz, like harlots before lechers with tainted hearts? A harlot dances for the joy of dance, not to fill her purse.

Wounded Man: Then I shall sever this limb, or even both if need be. I’ll learn to dance with hands, and if they too succumb, I’ll dance with my head. If my head fails, my heart shall waltz. Give me the spirits or the opiate to dull the pain.

Dionysus: Nay! Do not intoxicate thyself, for then thou canst not savor the cries of thy wounds. Thou must witness their lament, for they too seek life. Thy suffering is naught compared to theirs, who face the specter of death.

Wounded Man: Thou fiend, dost thou seek my torment? I’ll slay thee, and grant thee peace eternal, like the cancerous limb I sever.

(He lunges at Dionysus, who deftly steps aside.)

Wounded Man: What? Canst thou not be slain and rest in peace? How is this, Dionysus?

(Dionysus laughs, and the scene fades to black.)


Adegan: Sebuah Hutan yang Gelap. Dionysus dan Seorang Lelaki Terluka Masuk

Dionysus: Hark! Katakan padaku, Dionysus, mengapa kau, dengan licik dalam matamu, sering berbuat seperti bajingan, dan dengan iseng membuka perban dari luka yang masih basah?

Lelaki Terluka: HAHAHA! Lihatlah, orang-orang ini, dalam ketakutan akan daging mereka yang robek, segera menutup luka mereka dengan tergesa-gesa. Mereka tidak tahu apakah lukanya sudah kering atau masih berdarah, tetapi karena takut mereka cepat-cepat membalutnya.

Dionysus: Orang-orang bodoh ini, mereka tidak tahu apakah perbannya bersih, apakah lukanya telah sembuh atau masih bernanah. Hanya orang tolol yang menutupi luka yang masih basah.

Lelaki Terluka: Tapi aku tahu lukaku sudah kering dan perbanku bersih.

Dionysus: Benar, jika lukamu sudah sembuh, biarkan aku membuka perban ini.

Lelaki Terluka: Tidak! Rasa sakitnya sangat parah, dasar bajingan! Mati saja kau, Dionysus!

Dionysus: Kau bilang sudah sembuh, tapi teriakanmu menunjukkan sebaliknya. Mengapa kau masih menutupinya?

Lelaki Terluka: Dekatkan matamu ke luka ini. Lihat baik-baik, dasar bajingan. Kau itu seperti orang-orang yang takut, berpikir bahwa perban saja bisa menyembuhkan luka. Lihat dalam-dalam, jamur dan bakteri ganas seperti kanker sudah muncul. Jika aku tidak memperlihatkannya padamu, penyakit itu bisa menyebar dan membunuhmu. Sekarang pilih: amputasi penyakitmu itu, atau bersahabat dengannya dan hidup dalam penderitaan selamanya?

Lelaki Terluka: Jika aku memotong satu kaki, bagaimana aku bisa menari, Dionysus? Lebih baik mati daripada tidak bisa menari.

Dionysus: Bahkan dengan kedua kaki utuh, kau tidak bisa menari. Tapi dengan satu kaki kuat, kau bisa belajar seni baru. Lihatlah pesta dansa yang membosankan itu, semua penarinya sama. Tapi kau, dengan satu kaki yang gesit, bisa menciptakan sesuatu yang baru. Cari kekuatan itu, kelincahan itu, dan kau akan menemukan keindahan yang lebih dari yang dinyanyikan para pujangga.

Lelaki Terluka: Tambahkan garam ke lukaku, biar aku merasakan pedihnya. Entah aku memotong kakiku atau tidak, aku harus merasakan lebih sakit dulu. Hanya rasa sakit yang bisa membuatku merasa hidup.

Lelaki Terluka: Dahulu, dengan dua kaki, aku hidup tanpa rasa sakit. Sekarang kau membuka luka masa laluku.

Dionysus: Kau pikir luka dan parasit tidak ingin hidup? Ingin menari seperti mereka, tarian kematian seperti pelacur di depan pria hidung belang yang tidak tulus? Pelacur itu hidup jika ia menari karena keinginannya, bukan untuk kebutuhan sehari-hari.

Lelaki Terluka: Maka aku akan memotong satu kakiku, dua jika perlu. Aku akan belajar menari dengan tangan, dan jika tanganku juga terkena, aku akan menari dengan kepala, dan jika kepalaku juga terkena, aku akan belajar menari dengan hati. Berikan aku alkohol atau obat bius untuk mengurangi rasa sakit.

Dionysus: Tidak! Jangan sampai mabuk, kau tidak akan bisa menikmati jeritan luka itu. Kau harus menyaksikan teriakan mereka, mereka pun ingin hidup. Penderitaanmu tak sebanding dengan mereka yang akan mati.

Lelaki Terluka: Kau bajingan, kau ingin membuatku menderita? Akan kubunuh saja kau agar kau bisa hidup damai selamanya seperti kanker di kaki yang kupotong.

(Dia menyerang Dionysus, yang dengan cepat menghindar.)

Lelaki Terluka: Apa? Kau tidak bisa dibunuh dan beristirahat dengan damai? Bagaimana bisa, Dionysus?

(Dionysus tertawa, dan adegan menggelap.)